Rabu, 16 Maret 2011

PENGARUH HOLOCAUST BAGI FILSAFAT EMMANUEL LEVINAS

1. Pengantar

Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis dan yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945. Peristiwa pemabantaian ini disebut dengan istilah genocide: pembantaian, kekejaman, dan kekerasan yang dilakukan pada sekelompok orang karena identitas etnis, rasa dan lebih dari jutaan orang Yahudi yang terbunuh pada saat itu kamp-kamp konsentrasi dan ladang-ladang pembantaian. Nama Holocaust berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam Alkitab yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan artikel ini, “Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi.
Levinas adalah seorang Yahudi yang hidup di episentrum politik Eropa, dan pernah menjadi saksi hidup holocaust. Peristiwa ini ternyata menjadi salah satu titik tolak pemikiran Levinas. Karena itu orang sulit untuk membedakan karya-karyanya sebagai sebuah karya filosofis atau religios. Cara pemikiran Filsafat Levinas berdasarkan tiga latar belakang kehidupannya pada waktu itu. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah pengaruh agama Yahudi, pemikiran filosofis barat dan fenomenologis. Di sini kita menemukan pemikiran-pemikiran murni dari Levinas. Seperti tadi disebutkan, pengaruh filosofi barat, bertemu fenomenologi, dan khususnya, sebagai seorang Yahudi yang taat, di mana Levinas sangat menghayati kepercayaannya.
Dalam hal mendalami teologi Yahudi, bagi Levinas bukan sesuatu yang asing mengingat sejak kecil orangtuanya mengajarkan bahasa Ibrani dan Rusia kepadanya yang saat itu masih tinggal di Lithuania dengan harapan memperoleh masa depan yang lebih baik. Selain giat mempelajari Talmud dan bacaan-bacaan Yahudi lain, secara khusus Levinas juga sangat terkesan terhadap dua pemikir agama Yahudi: Martin Buber dan Franz Rosenzweig, dua tokoh pembaharu dalam Yudaisme.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Levinas yang dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai orang Yahudi yang mengalami peristiwa holocaust. Ternyata sebagian besar pemikiran Levinas memiliki pengaruh ini terutama dalam karyanya yang terbesar tentang Totality and Infinity dan pemikirannya tentang etikanya.

II. Pokok-Pokok Pemikiran Levinas

1. 1934: Refleksi terhadap aliran Filsafat Hitler
Levinas menunjukkan juga refleksinya yang berkaitan dengan ontologi, seperti yang juga dikatakan oleh Heidegger bahwa esensi sebagai subjek idealisme transendental, bahwa siapa saja ingin bebas. Bagi Levinas, universalisme Yahudi dan Kristianitas dengan partikularitas ras, bahasa mengungkapkan sebuah analisis eksistensialis.
Analisis Levinas tentang tubuh menjauhkan dia dari orang-orang sesamannya (Merleau-Ponty)– “tubuh yang dihidupi” yang mana menurut Ponty “saya tidak memiliki lebih dari yang saya dimilikinya, dan bahwa saya lebih sekadar mempunyai”. Hal berkaitan dengan “tubuh” juga ditekankan oleh Gabriel Marcel dengan tema “Tubuh sebagai Tubuhku”. Salah satu bagian penting yang diungkapkan dalam tema ini adalah “tubuhku adalah tubuhku”; tubuh memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Karena tubuh bukanlah alat begitu saja dan juga bukanlah suatu objek yang dapat dihadapkan dengan diriku sebagai subjek tetapi bahwa tubuh :adalah alat yang mutlak.
Levinas juga kemudian menyesal karena telah memuji sosialisme nasional dengan istilah filsafat. Namun, Levinas tidak membedakan antara teori dan praksis sebagaimana disinggung dalma tulisan Totality and Infinity dengan pernyataan “kaum metafisikawan tidak dapat ditotalisasikan dengan yang lain” di mana jelas bahwa apa yang padanya dihubungkan bukan sebuha kekhususan filsafat melainkan diri (self) sebagai sebuah polaritas transendensi dan ontologi tidak hanya berbicara soal “ada” melainkan sebagai sebuah jalan atau cara khusus di mana diri (self) mengalami dirinya dalam hubungannya dengan “ada”

2. 1961: Totality and Infinity
Dalam karya terbesanya ini, Levinas tidak secara spesifik menyebutkan tentang Holocaust. Tetapi pada bagian pengantarnya, ia memberikan ulasan mengenai sebuah konteks dari realitas perang. Dari kalimatnya yang pertama, “Setiap orang akan dengan mudah menyetujui bahwa hal itu adalah kepentingan yang utama untuk mengetahui apakah kita tidak ditipu oleh moralitas”. Tantangan untuk etika Levinas barangkali lebih tepat muncul dari pengalaman akan tekanan, penindasan, dan mala petaka yang sering dialaminya, di mana Levinas menekankan bahwa kebebasan diletekkan pada pertanyaan oleh “yang lain”, dan dinyatakan sebagai ada yang tidak di-adil-kan hanya ketika hal itu mengetahui dirinya untuk tidak adil.
Latar belakang tersebut tetap berpengaruh dalam berbagai pemikirannya. Adapun tiga aspek pemikiran tersebut yakni mempertanyakan iman agama setelah peristiwa Holocaust, arti atau makna dari Yudaisme, dan relasi antara being (realitas yang susah, usaha mempertahankan hidup) dan beyond being.
Levinas mengatakan bahwa ujian yang paling kuat adalah pengujian dari kenyataan. Dan kenyatan adalah realitas yang dibentuk oleh totalitas. Berkaitan dengan relasi totalitas dan totalitarianisme; gambaran Levinas tentang perang sebagai sebuah fenomena yang meninggalkan kehampaan eksterior dan yang mengubah setia yang lain kepada yang sama. Bagi Levinas, totalitas itu akan runtuh jika bertemu dengan sesuatu yang benar-benar lain, bukan termasuk totalitas egoistik itu, dan benar-benar sesuatu yang bukan aku.

3. 1966: Nameles
Esay terakhir dalam karyanya “Proper Names” berjudul “Nameless”. Essay ini berisi tentang sebuah keterharuan dan pernyataan mendalam yang dikombinasikan pengalaman pribadi dengan usaha untuk menemukan arti keadilan dalam malapetaka yang menakutkan. Dalam essay pendek tersebut, Levinas memberikan tiga kebenaran yang berasal dari pengalaman dalam kamp konsentrasi dan dilanjutkan kepada generasi yang baru.
Pertama adalah “bahwa untuk hidup secara manusiawi, orang membutuhkan sesuatu yang sangat lebih sedikit daripada apa yang mereka buang di dalam peradaban megah yang ditinggalkan. Hal itu seakan-akan selama Holocaust Kaum Yahudi kembali ke padang gurun. Kedua: dalam masa krusial, saat hal itu menunjukkan bahwa semua nilai-nilai kemanusiaan terkikis, semua martabat manusia yang diyakini hilang. Ketiga dan paling terakhir dari kebenaran adalah bahwa generasi baru harus diajarkan "kekuatan yang diperlukan untuk bertahan dalam isolasi, yaitu, ketika tidak ada lembaga yang mengatur, dan hanya satu kepastian yakni suara hati seseorang. Levinas menunjukkan bahwa perlu membuka hati kepada teks Kitab Suci dan memberikan prioritas baru kepada kehidupan batin yakni kembali ke hati nurani masing-masing.
4. 1973: Poetry and Resurrection: Notes on Agnon (puisi dan kebangkitan: catatan kepada Agnon.
Dalam essay (Proper Names) penghargaan kepada Shamuel Agnon. Levinas mengomentari dengan sebuah pertanyaan: Mengapa ada pengungsian? Mengapa harus ada pembunuhan terhadap mereka yang berpegang pada Taurat Hidup? Jawaban atas pertanyaan tersebut yakni kejahatan dalam kejahatan, dan kematian dalam kematian. Dalam menghadapi realitas pengungsian dan pembunuhan, Levinas menunjukkan untuk tidak menghilangkan hakikat seseorang dalam hal membutuhkan keadilan dan menghindari kejahatan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam karyanya ini Levinas senang menggunakan nama-nama yang mendekatinya dan dipengaruhi oleh filsafatnya sebagai prinsip struktural dalam esaynya. Nama-nama tersebut diangkat untuk membendung hal yang terlupakan dan mengingat kematian. Satu aspek dari melestarikan keunikan setiap kehidupan individu, memprotes kematian dan merubah sejarah alienasi.

5. 1974: Otherwise than Being or Beyond Essence (Lain daripada Ada atau di seberang Esensi)
Dalam karya ini ada dua segi dari pesepsi Levinas berkaitan dengan Holocaust yakni segi universal dan partikular. Keduanya direfleksikan dalam tulisan pada bagian awal Otherwise than Being. Pertama di Jerman: untuk mengingat kembali mereka yang dekat dengan enam juta orang yang dibunuh oleh nasional-sosialisme, dan beribu-ribu penganut kepercayaan kepada yang beragama dan semua negara, korban kedengkian manusia lain, sama-sama anti-semitisme. Pengakuan tersebut di satu sisi bersifat khusus (spesifik): mereka yang berdekatan dengan peristiwa tersebut, 6 juta orang, nasional-sosialisme, anti semitisme) tetapi di satu sisi lebih bersifat umum: semua penganut kepercayaan, semua bangsa.

6. 1982: Useless Suffering (Penderitaan yang sia-sia)
Esay ini berkaitan dengan tema teodise. Dalam esay ini diungkapkan pula mengenai relasi asimetri antara aku dan yang lain, yang digunakan dalam situasi khusus dari penderitaan, dengan hasil akhir adalah bahwa hanya berarti dalam diriku, tak berguna bagi yang lain. Kesadaran kewajiban bahwa orang lain menjadi tanggung jawab saya membawa kita lebih dekat dengan Allah tetapi juga dengan secara rohani tetap percaya walaupun dalam segala bentuk teodisi.

7. 1986: The Poirie Interview (Wawancara terbuka dengan Francois Poirie)
Dalam wawancara ini ditunjukkan mengenai perbedaan pemikiran Levinas dan Martin Buber. Berkaitan dengan teks Kitab Suci 1Sam 15:3 , Buber menyatakan bahwa nabi tersebut tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Allah kepada dirinya. Levinas menyanggah dengan keras terhadap interpretasi tersebut. Levinas menyatakan bahwa tanpa perhatian terhadap yang satu tidak mendengarkan yang lain. Selain itu, Buber tidak mengalami peristiwa Auschwitz sehingga tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Levinas juga mengkritik bahwa Buber juga tidak menghargai unitas suara hati dan yang terdapat dalam Kitab Suci.
Dalam wawancara yang sama, Levinas mengomentari tentang Holocaust yang berkaitan dengan pengalaman kehilangan seluruh anggota keluarganya dan Holocaust dinilai sebagai sesuatu yang tidak ada agama. Berkaitan dengan Holocaust ini juga mengomentari tentang relasi diri dengan orang lain, antara I dan Thou adalah relasi asimetris; yang lain lebih tinggi dari saya. Model relasi inilah yang membedakan Levinas dengan Martin Buber, di mana Martin Buber menekankan tentang relasi simetris. Martin Buber menyatakan bahwa manusia mempunyai dua hubungan yang secara fundamental berbeda satu sama lain. Yang satu adalah hubungan dengan benda-benda: Ich – Es (Aku – Itu) dan hubungan yang kedua adalah Ich – Du (Aku – Engkau).

III. Penutup

Kita ingat Levinas ikut menjadi saksi hidup holocaust, atau pembantaian umat Yahudi, serta dinamika peran Yudaisme yang jatuh bangun terguncang peristiwa tersebut. Ini pula yang mengundang minat Levinas mendalami masa-masa krusial dinamika sebuah agama yang berusaha menuntun identitas umatnya kembali. Levinas sendiri merujuk kepada ayat Alkitab Yesaya 53 tentang “Hamba Tuhan yang Menderita”. Masa-masa inilah krisis terbesar bagi Yudaisme, seperti yang diungkapkan Karen Armstrong dalam “History of God” bahwa “Tuhan orang Yahudi telah mati” di kamp Autscwithz, Dan zionisme sebagai sebuah gerakan politik kemudian merebut peran dan orientasi bangsa Yahudi setelah itu.
Tradisi Yahudi pembantaian kaum Yahudi dan semua kepahitan rasial itu cukup membuatnya mempertanyakan sebenarnya di mana Allah saat semua kekejiaan itu terjadi? Dimana Allah saat kaum Yahudi harus mati di dalam suatu camp konsentrasi hanya karena identitas diri mereka? Mengapa semuanya seakan-akan tidak adil bagi dirinya. Disini bagi Levinas, filsafat Barat mengejar totalitas yaitu menjadikan diri sebagai pusat. (Karena bertolak dari aku dan kembali bagi aku Kalau istilah dari Descartes adalah cogito ergo sum, menurut bahasa Levinas : The Philosophy of the same ). Tetapi bagi Levinas, totalitas yang benar hanya didapatkan bila diri telah berjumpa dengan wajah diri orang lain. Jadi baginya subyek menjadi subyek karena subyek bertanggung jawab akan orang lain. Perjumpaan antara sang aku dan yang lain dengan memakai instrumen bahasa yang etis akan membawa manusia kepada yang lain tapi berdimensi ilahi, yaitu Tuhan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, perlakuan kita kepada yang liyan atau sesama (neighbour), juga menyiratkan relasi yang sama kepada Tuhan kita.
Hampir seluruh karya filosofis Emmanuel Levinas, pembaca akan menemukan dedikasinya kepada memoria dari enam juta korban dari Holocaust, dan enam anggota keluarganya yang tetap tinggal di Lithuania selama perang dan dibunuh baik oleh Einsatzgruppen Nazi yang mengikuti Wehrmacht selama invasi Uni Soviet, atau dengan pro-Nazi Lithuania anti-Semit.Hal ini tidak mengherankan, karena Levinas cukup sering mengacu Holocaust dalam tulisannya. Begitu juga gagasan Levinas tentang etika terkait erat dengan gagasan memoria - atau mungkin lebih khusus, dari ketegangan antara memori dan lupa - terikat dengan bencana Holocaust.
Saya akan berpendapat bahwa Levinas menetapkan suatu teori memori pasca-Holocaust, meskipun memori tersebut bisa dilupakan tetapi tulisan-tulisannya tetap berorientasi pada masa depan, daripada terarah kepada pengalaman masa lalu yang sudah terjadi dan tidak bisa dipungkiri lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Smith, Michael B., Toward the Outside; Concepts and Themes in Emmanuel Levinas, Michigan: Duquesne University Press, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Perancis, Kanisius: Jakarta, 2001.
Lanur, Aleks, Kepercayaan dan Eksistensi: Gabriel Marcel, Karl Jasper dan Martin Buber, Diktat Kuliah Filsafat Kontemporer 2010, STF Driyarkara Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar