Jumat, 29 April 2011

KI HAJAR DEWANTARA: TOKOH PENDIDIKAN NASIONAL




“Aku adalah orang Indonesia biasa
Yang bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia”
=Ki Hajar Dewantara




I.PENDAHULUAN

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang kemudian menjadi Ki Hajar Dewantara adalah seorang pendorong dan pemimpin bangsa Indonesia dalam sejarah perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Peranannya sangat besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga dapat dibayangkan bahwa keadaan pergerakan Kebangsaan Indonesia niscaya tidak akan seperti yang kita alami tanpa kehadiran tokoh ini.
Pada masa penjajahan Ki Hajar Dewantara memiliki cara yang berbeda untuk melawan penjajah. Rasa bosan dan muak berada di bawah jajahan menciptakan suatu perasaan yang mendorong Ki Hajar Dewantara untuk berupaya menemukan alat lain untuk berjuang. Awalnya Ki Hajar Dewantara merupakan seorang wartawan di beberapa terbitan pada masa kolonial. Kepiawaiannya dalam menulis dimanfaatkan sebagai wadah aspirasinya pada masa itu. Masa kolonial Belanda merupakan masa sulit untuk semua masyarakat Indonesia tidak terkecuali pribumi bernama bangasawan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini. Seorang yang memiliki ledakan aspirasi harus berada dalam tekanan yang tidak berkesudahan seperti saat itu. Hal tersebut mendorongnya untuk menyalurkan semua aspirasi melalui tulisan. Tulisan yang dikaryakan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan tulisan aspiratif, komunikastif dan tajam. Dari tulisan-tulisan ini Ki Hajar menanamkan sikap patriotik pada pemuda Indonesia. Keberadaannya sempat dianggap mengancam berlangsungnya pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu, sehingga Ki Hajar sempat diasingkan ke beberapa tempat hingga akhirnya diasingkan ke negeri Belanda.
Kesempatan berharga ini tidak disia-siakan Ki Hajar. Ki Hajar memang seorang pemuda yang pintar dalam memanfaatkan peluang. Saat diasingkan ke Belanda, hal tersebut diamanfaatkan sebagai ajang mencari informasi dan ilmu. Hingga suatu saat Ki Hajar pulang ke tanah air dengan mengantongi ilmu dan ijazah resmi dari Belanda. Sejak saat itu perjuangan Ki Hajara Dewantara berlanjut dalam bidang pendidikan. Pemikirannya timbul bahwa ilmu merupakan senjata terbaik untuk melawan penjajahan. Akhirnya bersama beberapa rekannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Sebuah lembaga pribumi yang bergerak di bidang pendidikan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memfokuskan pada pemikiran-pemikiran tokoh ini terutama berkaitan dengan perjuangan nasionalismenya dalam hal pendidikan di mana begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan.
Adapun skema dalam tulisan ini yakni Pertama: Pendahuluan; bagian ini memberikan pemahaman secara menyeluruh latar belakang dan perjuangan kebangsaan Ki Hajar Dewantara serta perihal mengenai fokus dan skema dari penulisan paper ini. Pada bagian Kedua penulis mencoba memberikan informasi berkaitan dengan perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari riwayat hidupnya dan sejarah perjuangannya terhadap kemerdekaan Indonesia yang terdapat dalam dua hal penting yakni peranannya dalam Indische Partij dan Sekolah Taman Siswa. Kemudian pada bagian Ketiga penulis akan menunjukkan latar belakang pemikiran dari tokoh ini di mana terdapat dua kultur besar yakni kultur Jawa dan Eropa yang memiliki peranan yang penting dalam perjuangannya.
Pada bagian Keempat, penulis akan mendalami gagasan nasionalisme Ki Hajar Dewantara berkaitan pemikirannya tentang pendidikan nasional. Bagian ini terdiri dari empat hal penting yakni Pemikiran Pertama tentang Pendidikan Nasional, Taman Siswa sebagai Pelaksanaan Asas dan Dasar Pendidikan, Perlawanana Masyarakat Indonesia terhadap Ordonansi Sekolah Liar, dan Pengaruh Taman Siswa dalam Perjuangan Nasional Kemerdekaan Bangsa. Pada bagian Penutup, akan diberikan beberapa kesimpulannya berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.

II. PERJALANAN HIDUP KI HAJAR DEWANTARA
2.1 Riwayat Hidup
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang merupakan putra sulung dari KPA (Kanjeng Pangeran Aryo) III Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta atau seorang bangsawan dari Paku Alaman. Pada tanggal 4 Nopember 1907 dia dinikahkan dengan R.A. Sutartinah, Putri G.P.A. Sasraningrat. Kemudian keluarga baru ini pindah ke Bogor dan tinggal dalam satu rumah bersama dengan R/M. Prawiningrat, kakek tertua Sutartunah.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa Indonesia. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada saat setelah zaman kemedekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hajar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, (2 Mei) dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia dan menjadi Bapak Pendidikan Indonesia. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Nama Ki Hajar juga diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia "KRI Ki Hajar Dewantara". Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah. Selain itu, perguruan Taman Siswa yang ia dirikan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2.2. Ki Hajar Dewantara dan Indische Partij
Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri tanggal 25 Desember 1912. Partai ini didirikan oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E. Douwes Dekker sebagai ketua, Tjipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua, dan Ki Hajar Dewantara sebagai sekertaris. Indische Partij, yang berdasarkan golongan indo yang makmur, merupakan partai pertama (partai radikal) yang memiliki asas tujuan perjuangan yakni
1. Mempersatukan bangsa-bangsa di Hindia Belanda yang mengakui Hindia Belanda (Indonesia) sebagai tanah air ke dalam satu Kesatuan Kebangsaan Hindia (Indonesia).
2. Memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, bebas dari penjajahan Belanda.
Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913. Penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh pemerintah kolonial saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hokum, Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Seadainya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
2.3. Ki Hajar Dewantara dan Sekolah Taman Siswa
Setelah Ki Hajar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

III. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Ki Hajar Dewantara adalah cucu Sri Paku Alam III. Ia awalnya memiliki nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Akan tetapi, setelah menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan meninggalkan nama lama dan gelar kebangsawanannya. Hal ini menurutnya karena ia tidak ingin merasa terpisah dari rakyat banyak dan selalu ingin berada bersama rakyat banyak berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini ia dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda yaitu Jawa dan Barat. Sejak kecil ia sudah menerima dua kultur pendidikan tersebut. Ia bersekolah di sekolah Belanda, tetapi tetap mendapatkan pendidikan nasional Jawa. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut.
Meskipun ia mendapat pendidikan Barat, ia tidak serta merta menjadi individualistik. Sebaliknya, ia justru merupakan tokoh humanis. Paham-paham humanisme Barat tampaknya lebih dominan daripada paham-paham liberalisme Barat. Sementara meskipun ia mendapat pendidikan Jawa, ia juga tidak serta merta menjadi seorang Jawa kolot. Dengan dilepaskannya gelar kebangsawanan dan nama Jawanya menjadi bukti ia bukanlah seorang Jawa yang kolot. Pemahamannya bahwa seseorang haruslah bekerja keras untuk melayani dan bukan untuk dilayani juga menjadi bukti lainnya bahwa ia adalah seorang sosok yang mengombinasikan nilai-nilai luhur dua kultur, yaitu Barat dan Jawa.
Oleh karena persentuhan dua kultur itu, perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam Pergerakan Nasional menjadi unik. Awalnya, ia berjuang dengan masuk organisasi gaya Barat. Ia melihat organisasi sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajahan yang paling mungkin pada awal 1910-an. Akan tetapi, setelah ia diasingkan ke negeri Belanda, ia belajar banyak bahwa organisasi tanpa pencerdasan dan kesadaran rakyat adalah makna kosong. Dari sinilah arah perjuangan Ki Hajar Dewantara berubah. Perubahan itu secara radikal ditunjukkan dengan mendirikan sekolah bernama Taman Siswa pada 1922. Baginya, pendidikanlah yang dapat membuat rakyat sadar akan adanya sebuah penindasan yang menimpa mereka. Dari periode 1920-an inilah kita dapat melihat gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pentingnya pendidikan.

IV. GAGASAN KEBANGSAAN DALAM PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN NASIONAL
4.1. Pemikiran Pertama tentang Pendidikan Nasional
Sejak lahirnya pergerakan nasional, suatu gejala yang penting adalah adanya keinginan yang bertambah luas kepada pendidikan atau pengajaran. Semenjak Budi Utomo lahir, maka soal pengajaran ini selalu tercantum dalam program setiap partai di Indonesia. Dalam aktivitas politik ini, Ki Hajar Dewantara memakai setiap kesempatan yang ada untuk mengeluarkan pendapat-pendapat tentang pengajaran kolonial dan pembaruan-pembaruan yang harus ditempuh sesuai dengan tuntutan ke arah kemerdekaan bangsa. Salah satu perjuangan yang sangat berarti yakni tidak menyetujui penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah Indonesia. Menurutnya apabila kita menghendaki satu bahasa untuk bangsa kita di seluruh Nusantara, maka janganlah memaksakan salah satu bahasa Eropa, sebab bukankah kita mempunyai bahasa Melayu, yang tidak saja mudah untuk dipelajari, tetapi sudah sejak lama menjadi lingua france di Nusantara.
Ki Hajar Dewantara dalam perjuangannya mengenai pendidikan nasional menyatakan bahwa syarat utama adalah pendidikan nasional dan pendidikan merdeka pada anak-anak, yang akan dapat memberi bekal kuat untuk perjuangan kemerdekaan nasional. Jalan yang ditempuh adalah pendidikan rakyat, di samping pergerakan politik. Keadaan pendidikan bagi rakyat Indonesia pada saat itu tidak saja dalam hal sangat kurangnya pengajaran yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, tetapi juga isi pendidikannya sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa Indonesia sendiri, dan bahkan meracuni jiwa anak bangsa, menanamkan jiwa budak pengabdi kepentingan kolonial semata-mata. Oleh karena itu ide untuk mendirikan sekolah kerakyatan muncul yakni mendirikan Perguruan Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara mengajukan konsep pendidikan dan pengajaran yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan kebangsaan. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara membagi pendidikan ke dalam dua hubungan, yaitu pendidikan dan penghidupan rakyat dan pendidikan dan kebangsaan. Dalam hubungan yang pertama, antara pendidikan dan penghidupan rakyat, terdapat sembilan poin penting yang ia ajukan. Kesembilan poin penting itu antara lain, kekuatan rakyat, mendidik anak adalah mendidik rakyat, sistem pengajaran kerakyatan, penerimaan perbedaan, kemerdekaan manusia, bersandar pada kekuatan sendiri, tugas sebagai rakyat, tidak diperintah, dan persatuan pengajaran.
Sementara itu, dalam hubungan yang kedua, yaitu antara pendidikan dan kebangsaan, ia mengajukan tujuh poin penting yang antara lain, pendidikan nasional yang selaras dengan kehidupan dan penghidupan bangsa, pendidikan nasional adalah hak dan kewajiban bangsa, tidak menerima subsidi pemerintah, tidak terikat lahir dan batin, sistem mengongkosi diri sendiri, adanya badan pembantu umum, dan adanya Steunfonds umum. Dengan demikian, Ki Hajar Dewantara telah merumuskan konsep dan arah pendidikan nasional, di mana tampak dengan jelas bahwa visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berasaskan kemerdekaan, kebebasan, keseimbangan, kesesuaian dengan tuntutan zaman, berkepribadian Indonesia, dn kesesuain dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan.

4.2. Taman Siswa sebagai Pelaksanaan Asas dan Dasar Pendidikan
Dengan mendirikan sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mulai mengesampingkan pendekatan politik. Ia dapat mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan sesuai dan merupakan bagian penting pergerakan kemerdekaan indonesia. Selain itu dianggap merupakan perjuangan meninggikan derajat rakyat.
Dalam rangka mendirikan lembaga pengajaran nasional tersebut, Ki Hajar Dewantara memberikan Tujuh Asas Taman Siswa. Asas-asas ini dilengkapi dengan sistem dan cara pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Taman Siswa. Hal ini dinilai sebagai konsepsi kehidupan manusia baru yang bahagia, damai, dan tertib. Adapun asas-asas Taman Siswa yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Azas pertama adalah mengatur diri sendiri (Zelfbeschikkingsrecht). Hak mengatur diri sendiri berdiri bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut among metode.
Azas kedua adalah kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga bagi anak-anak. Maka pengajaran berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang perlu dan baik untuk lahir, batin, dan umum. Oleh karena itu, guru tidak dibenarkan untuk selalu memberi ilmu pengetahuan, tetapi juga harus diusahakan bahwa guru mampu mendidik anak-anak untuk mandiri dan merdeka.
Azas ketiga adalah kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri dimaksudkan sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan yang akan dapat memberi kedamaian dalam hidup bangsa. Pada azas ketiga juga terkandung makna pendidikan yang tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya.
Azas keempat adalah pendidikan yang merakyat. Pendidikan dan pengajaran harus mengena rakyat secara luas. Sebab, hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan.
Azas kelima adalah percaya pada kekuatan sendiri. Ini adalah azas yang penting bagi semua orang yang ingin mengejar ketertinggalannya dan meraih kemerdekaan hidup. Dan itu dapat terwujud melalui kerja yang berasal dari kekuatan sendiri.
Azas keenam adalah zelfbedruipingssysteem atau membelanjai diri sendiri. Azas ini sangat dekat dengan azas kelima. Pada azas ini segala usaha untuk perubahan harus menggunakan biaya sendiri.
Sementara azas terakhir adalah keikhlasan dari para pendidik dan pengajar dalam mendidik anak-anak. Hanya dengan kesucian hati dan keterikatan lahir dan batinlah usaha pendidikan dan pengajaran dapat berhasil.
Asas pendidikan Taman Siswa ini menekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.
Sesungguhnya pernyataan asas-asas itu merupakan perpaduan pengalaman Ki Hajar Dewantara tentang aliran pendidikan Barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan “kebahagiaan diri, bangsa, dan kemanusiaan”. Dalam mengembangkan pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara pula menggunakan semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah "tut wuri handayani". Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani".
Ing Ngarsa Sung Tulada: Di depan memberikan keteladanan. Sebagai orang tua, guru atau sebagai pimpinan, anak-anak, para murid dan para bawahan akan memperhatikan tingkah laku orang tua, guru atau pimpinannya. Dakwah yang baik adalah dakwah dengan perbuatan. Ing Madya Mangun Karsa: Di pertengahan memberi semangat. Dalam pergaulan sehari-hari ketika melihat anak-anak, murid atau bawahan mulai mandiri, menjalankan hal yang benar, mereka wajib diberi dorongan, diberi semangat. Kepedulian terhadap perkembangan anak, murid dan bawahan diwujudkan dengan memberi dorongan kepada mereka untuk menjalankan hal yang benar. Seorang anak, murid atau bawahan perlu diberi semangat dalam menjalankan kewajibannya.Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dukungan. Anak-anak, murid atau bawahan yang mulai percaya diri perlu didorong untuk berada di depan. Orang tua, guru atau pimpinan perlu memberi dukungan dari belakang.
Reaksi masyarakat Indonesia atas pernyataan asas itu berbeda-beda. Ada yang menyambut dengan persetujuan, ada yang mengatakan bahwa pernyataan asasi itu berarti memutar jam ke belakang dan ada yang menuduh bahwa Ki Hajar Dewantara akan mendirikan sekolah komunis.
4.3. Perlawanana Masyarakat Indonesia terhadap Ordonansi Sekolah Liar
Setelah tahun 1930-an terjadi suasana kelumpuhan politik di kalangan pergerakan rakyat, karena krisis ekonomi dan akibat politik keras dan kolot Gubernur Jenderal Jhr. B.C. de Jonge dibantah dengan terjadinya perlawanan terhadap sekolah-sekolah Partikelir (swasta) yang dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar. Arti politik perlawanan terhadap peraturan pengawasan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang sangat berhasil di tahun 1932-1933 berkaitan erat dengan perguruan Taman Siswa dan pemimpinnya, Ki Hajar Dewantara, yang merupakan tokoh pusat perlawanan masyarakat Indonesia melawan pembatasan usaha mendidik bangsa sendiri. Masalah itu berlatar belakang sejarah politik pengajaran Hindia Belanda.
Ordonansi itu telah menimbulkan reaksi yang luar biasa dalam masyarakat Indonesia. Bagi pergerakan nasional ordonansi itu tetap merupakan bahaya bagi asas kemerdekaan pengajaran di lingkungan nasional. Masyarakat umum berpendapat bahwa penarikan kembali ordonansi merupaan satu-satunya jalan meniadakan bahaya itu. Oleh karena itu, diputuskan untuk tetap mengambil sikpa menolak dan dibebankan kepada setiap orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukan itu.
Masyarakat Indonesia bertekat membantu aksi Ki Hajar Dewantara, baik secara rohani maupun kebendaan. Akibat adanya ordonansi itu maka timbul suasana rasa persatuan yang menakjubkan. Hal ini nampak bahwa hampir semua partai-partai Indonesia terpenting berdiri di belakang Ki Hajar Dewantara yang dianggap sebagai tokoh nasional. Ini adalah permulaan dari pertumbuhan ke arah kerja sama yang lebih erat, rasa bersatu dan senasib, yang bagaimanapun juga terpaksa dihindari oleh suatu pemerintah kolonial, yang hanya dapat berdiri tegak di dalam perpecahan lawan-lawannya. Sebagai keseluruhan aksi Ki Hajar Dewantara berhasil baik. Kejadian ini membuktikan bahwa kesatuan pergerakan Indonesia, bukan suatu hal yang tak dapat dicapai asal saja sesuatu yang harus dibela itu merupakan milik yang berharga dari bangsa Indonesia. Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut.

4.4. Pengaruh Taman Siswa dalam Perjuangan Nasional Kemerdekaan Bangsa
Segala-galanya adalah mungkin di dalam sejarah, baik kemajuan gemilang yang terus-menerus maupun kemunduran yang berkala. Dan sebagai lembaga pendidikan, Taman Siswa juga mengalami pasang surut di dalam perjuangannya. Sejarah Taman Siswa ialah sejarah kebangsaan Indonesia. Kelahirannya merupakan titik balik dari pergerakan Indonesia, oleh karena kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan asing dan filsafat Marxiisme harus memberikan tempat untuk pergerakan baru, yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap nonkoperatif dengan pemerintah jajahan.
Taman Siswa ini memiliki pengaruh yang luar biasa dalam rangka pergerajakn perjuangan nsional Indonesia. Hal ini tercermin dalam usaha Ki Hajar Dewantara yang berhasil mewujudkan keinginan bangsa Indonesia yakni usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan Indonesia yang merupakan bagian penting dari pergerakan Indoneisa. Selain itu usaha ini menjadi dasar perjuangan meninggikan derajat rakyat.
Pengaruh lembaga Taman Siswa ini pula dihubungkan dengan politik perjuangan bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam sejarah hidupnya yang ditandai dengan kenyataan bahwa Taman Siswa selalu ikut mempertimbangkan kehidupan politik di dalam sepak terjangnya. Pertama dapat disebut, bahwa berdirinya lembaga Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan emdnirikan pranata tandingan. Kedua, kedudukannya sebagai tempat swadaya anggota-anggota partai politik dan secara tidak langsung memupuk kader-kader bangsa Indonesia untuk masa mendatang. Ketiga, perlawanannya terhadap soal-soal asasi dengan pemerintah jajahan. Salah satu ciri yang kentara dalam hubungan kolonial ialah kurangnya perhatian pemerintah jajahan dalam usaha kemasyarakatan, terutama dalam pengajaran dan pendidikan. Pengajaran akan membawa suatu bangsa jajahan ke arah kemauan dan dapat merupakan bahaya bagi kedudukan pemerintah jajahan.
Hubungan corak politk nasionalisme di dalam Taman Siswa dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara demikian; “ Taman Siswa dan segala lapangan usaha sosial lainnya merupakan ladang atau sawah, tempat orang memupuk apa yang perlu bagi keperluan hidupnya. Gerakan politik merupakan pagar, yang melindungi dari gangguan binatang-binatang buas yang akan memakan dan menginjak-injak tunas-tunas tanaman.” Nampak jelas sekali bahwa secara langsung taman Siswa tidak ikut campur dengan politik praktis, tetapi cara perjuangannya berhasil secara horisontal yakni penghimpun segala golongan masyarakat di dalam lingkungan yang dipengaruhinya. Sedangkan berbagai golongan masyarakat di dalam lingkungan tersebut berusaha untuk menghapus sistem kolonial dan mendapatkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar pamong-pamong (guru) Taman Siswa masuk menjadi anggota partai politik sedangkan murdi-muridnya menjadi anggota organisasi Pemuda Indonesia, kemudian Indonesia Muda.
Nyatalah dengan ini, bahwa Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia di masa mendatang dan yang sudah pasti berjuang pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, pemerintah jajahan berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak saat itu Taman Siswa akan menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat masa penjajahan, gagasan-gagasan dasar dari sistem pendidikan yang diungkapankan oleh Ki Hajar Dewantara telah dicoba dan diimplementasikan sebagai pelaksanaan suatu teori pendidikan ekstra kolonial, artinya mencoba untuk mengimbangi sistem pendidkan kolonial dengan sistem pendidikan yang bersumber pada kebudayaan sendiri dan kepercayaan atas kekuatan sendiri untuk tumbuh. Kedudukan rumusan dan Taman Siswa tidaklah dianggap berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari usaha bersama pergerakan kebangsaan mencerdaskan bansa dan menyejahterakan rakyat. Alas dasarnya ialah memberikan isi cinta tanah air (patriotisme), paham kebangsaan (nasionalisme), dan orientasi ke arah rakyat banyak (kerakyatan). Anak didik diharapkan dapat menjadi pekerja-pekerja yang mandiri yang merdeka oikirannya, merdeka jiwanya, dan merdeka tenaganya. Artinya di waktu itu tidak mengikatkan diri dengan sistem kolonial, tetapi mencari jalan sendiri untuk mengahpuskan sistem itu dengan membentuk sistem nasional.

V. PENUTUP
Pada dasarnya paradigma Ki Hajar Dewantara dalam perjuangan nasionalisme terutama pendidikan nasional memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Konsep pendidikan seperti itu berarti pendidikan yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Ia dengan tegas menolak pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan mengorbankan aspek kerohanian atau jiwa para siswa. Menurutnya, pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial hanya akan membuat pribumi lupa akan kebudayaannya dan membuat pribumi menjadi tenaga terampil bagi kepentingan pemerintah kolonial. Berkaitan dengan itulah, ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang menawarkan pendidikan berorientasi kepada kebudayaan timur dan mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi dengan kekuatan intelektual.
Ki Hajar Dewantara hidup di tengah pergolakan bangsa menuju kemerdekaan dan pemikiran tentang dasar-dasar masyarakat baru pun tercapai setelah kemerdekaan. Maka dasar-dasar pemikiran tersebut merupakan suatu rangkaian yang ditawarkan kepada segenap bangsa Indonesia untuk dikemabngkan sesuai dengan perubahan alam dan zaman. Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada zaman kolonial kedudukan pendidikan pernah dirumuskan sebagai “dinamit bagi sistem kasta yang dipertahankan dengan ketat di daerah jajahan” atau “merupakan salah satu batu dasar kebijaksanaan kolonial”. Kedua rumusan ini mencerminkan pula kaitan kebijaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan dalam masyrakat kolonial. Sejalan dengan itu pergerakan nasional Indonesia sendiri menempatkan pendidikan sebagai salah satu programnya sebagai usaha mendidik bangsa sendiri. Lebih daripada itu usaha pendidikan yang diselenggarakan Taman Siswa di zaman kolonial bertujuan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional. Hal ini berarti memasukkan dalam cita-cita segala kepentingan bangsa baik lahiriah mengenai penghidupannya maupun yang batiniah yang bertalian dengan kehidupannya.
Akhirnya, ada beberapa hal yang perlu dapat disimpulkan dalam tulisan ini yakni; Pertama, terbukti dengan amat jelas dan meyakinkan, bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang pendidkan yng sejati. Berbagai pemikiran, gagasan, dan konsep-konsep yang ditawarkan bukan hanya dalam teori tetaoi telah ia praktikkan melalui pergutuan Taman Siswa yang diasuhnya. Kedua, corak pemikiran dan gagasan pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara amat dipengaruhi oleh situasi perjuangan dan pergerakan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Ia mengkritik pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda sebagai pendidikan yang tidak bermutu, sekularistik, diskriminatif, dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya, hal ketiga adalah bahwa melalui Perguruan Taman Siswa yang diasuhnya ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan yang mutunya tidak kala dengan pendidian yang berasaskan seimbang, bermutu pada niali-nilai kebudayaan bangsa sendiri, serta menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme.

DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Bambang S., 100 Tahun Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989.
Karya Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Yogjakarta, 1962.
Nata, H.Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Surjomihardjo, Adurrachman, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan, 1986.
Tauchid, Muchammad, Perdjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa Jogjakarta, 1963.