Pages

Jumat, 29 April 2011

KI HAJAR DEWANTARA: TOKOH PENDIDIKAN NASIONAL




“Aku adalah orang Indonesia biasa
Yang bekerja untuk bangsa Indonesia
Dengan cara Indonesia”
=Ki Hajar Dewantara




I.PENDAHULUAN

Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang kemudian menjadi Ki Hajar Dewantara adalah seorang pendorong dan pemimpin bangsa Indonesia dalam sejarah perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Peranannya sangat besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga dapat dibayangkan bahwa keadaan pergerakan Kebangsaan Indonesia niscaya tidak akan seperti yang kita alami tanpa kehadiran tokoh ini.
Pada masa penjajahan Ki Hajar Dewantara memiliki cara yang berbeda untuk melawan penjajah. Rasa bosan dan muak berada di bawah jajahan menciptakan suatu perasaan yang mendorong Ki Hajar Dewantara untuk berupaya menemukan alat lain untuk berjuang. Awalnya Ki Hajar Dewantara merupakan seorang wartawan di beberapa terbitan pada masa kolonial. Kepiawaiannya dalam menulis dimanfaatkan sebagai wadah aspirasinya pada masa itu. Masa kolonial Belanda merupakan masa sulit untuk semua masyarakat Indonesia tidak terkecuali pribumi bernama bangasawan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini. Seorang yang memiliki ledakan aspirasi harus berada dalam tekanan yang tidak berkesudahan seperti saat itu. Hal tersebut mendorongnya untuk menyalurkan semua aspirasi melalui tulisan. Tulisan yang dikaryakan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan tulisan aspiratif, komunikastif dan tajam. Dari tulisan-tulisan ini Ki Hajar menanamkan sikap patriotik pada pemuda Indonesia. Keberadaannya sempat dianggap mengancam berlangsungnya pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu, sehingga Ki Hajar sempat diasingkan ke beberapa tempat hingga akhirnya diasingkan ke negeri Belanda.
Kesempatan berharga ini tidak disia-siakan Ki Hajar. Ki Hajar memang seorang pemuda yang pintar dalam memanfaatkan peluang. Saat diasingkan ke Belanda, hal tersebut diamanfaatkan sebagai ajang mencari informasi dan ilmu. Hingga suatu saat Ki Hajar pulang ke tanah air dengan mengantongi ilmu dan ijazah resmi dari Belanda. Sejak saat itu perjuangan Ki Hajara Dewantara berlanjut dalam bidang pendidikan. Pemikirannya timbul bahwa ilmu merupakan senjata terbaik untuk melawan penjajahan. Akhirnya bersama beberapa rekannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa. Sebuah lembaga pribumi yang bergerak di bidang pendidikan.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memfokuskan pada pemikiran-pemikiran tokoh ini terutama berkaitan dengan perjuangan nasionalismenya dalam hal pendidikan di mana begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan.
Adapun skema dalam tulisan ini yakni Pertama: Pendahuluan; bagian ini memberikan pemahaman secara menyeluruh latar belakang dan perjuangan kebangsaan Ki Hajar Dewantara serta perihal mengenai fokus dan skema dari penulisan paper ini. Pada bagian Kedua penulis mencoba memberikan informasi berkaitan dengan perjalanan hidup Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari riwayat hidupnya dan sejarah perjuangannya terhadap kemerdekaan Indonesia yang terdapat dalam dua hal penting yakni peranannya dalam Indische Partij dan Sekolah Taman Siswa. Kemudian pada bagian Ketiga penulis akan menunjukkan latar belakang pemikiran dari tokoh ini di mana terdapat dua kultur besar yakni kultur Jawa dan Eropa yang memiliki peranan yang penting dalam perjuangannya.
Pada bagian Keempat, penulis akan mendalami gagasan nasionalisme Ki Hajar Dewantara berkaitan pemikirannya tentang pendidikan nasional. Bagian ini terdiri dari empat hal penting yakni Pemikiran Pertama tentang Pendidikan Nasional, Taman Siswa sebagai Pelaksanaan Asas dan Dasar Pendidikan, Perlawanana Masyarakat Indonesia terhadap Ordonansi Sekolah Liar, dan Pengaruh Taman Siswa dalam Perjuangan Nasional Kemerdekaan Bangsa. Pada bagian Penutup, akan diberikan beberapa kesimpulannya berkaitan dengan sistem pendidikan nasional.

II. PERJALANAN HIDUP KI HAJAR DEWANTARA
2.1 Riwayat Hidup
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat yang merupakan putra sulung dari KPA (Kanjeng Pangeran Aryo) III Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta atau seorang bangsawan dari Paku Alaman. Pada tanggal 4 Nopember 1907 dia dinikahkan dengan R.A. Sutartinah, Putri G.P.A. Sasraningrat. Kemudian keluarga baru ini pindah ke Bogor dan tinggal dalam satu rumah bersama dengan R/M. Prawiningrat, kakek tertua Sutartunah.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsa Indonesia. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada saat setelah zaman kemedekaan, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hajar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa, Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, (2 Mei) dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia dan menjadi Bapak Pendidikan Indonesia. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Nama Ki Hajar juga diabadikan sebagai nama kapal perang Indonesia "KRI Ki Hajar Dewantara". Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah. Selain itu, perguruan Taman Siswa yang ia dirikan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2.2. Ki Hajar Dewantara dan Indische Partij
Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri tanggal 25 Desember 1912. Partai ini didirikan oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E. Douwes Dekker sebagai ketua, Tjipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua, dan Ki Hajar Dewantara sebagai sekertaris. Indische Partij, yang berdasarkan golongan indo yang makmur, merupakan partai pertama (partai radikal) yang memiliki asas tujuan perjuangan yakni
1. Mempersatukan bangsa-bangsa di Hindia Belanda yang mengakui Hindia Belanda (Indonesia) sebagai tanah air ke dalam satu Kesatuan Kebangsaan Hindia (Indonesia).
2. Memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, bebas dari penjajahan Belanda.
Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913. Penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh pemerintah kolonial saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hokum, Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Seadainya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal daripada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
2.3. Ki Hajar Dewantara dan Sekolah Taman Siswa
Setelah Ki Hajar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

III. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA
Ki Hajar Dewantara adalah cucu Sri Paku Alam III. Ia awalnya memiliki nama R.M. Suwardi Suryaningrat. Akan tetapi, setelah menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan meninggalkan nama lama dan gelar kebangsawanannya. Hal ini menurutnya karena ia tidak ingin merasa terpisah dari rakyat banyak dan selalu ingin berada bersama rakyat banyak berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini ia dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda yaitu Jawa dan Barat. Sejak kecil ia sudah menerima dua kultur pendidikan tersebut. Ia bersekolah di sekolah Belanda, tetapi tetap mendapatkan pendidikan nasional Jawa. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut.
Meskipun ia mendapat pendidikan Barat, ia tidak serta merta menjadi individualistik. Sebaliknya, ia justru merupakan tokoh humanis. Paham-paham humanisme Barat tampaknya lebih dominan daripada paham-paham liberalisme Barat. Sementara meskipun ia mendapat pendidikan Jawa, ia juga tidak serta merta menjadi seorang Jawa kolot. Dengan dilepaskannya gelar kebangsawanan dan nama Jawanya menjadi bukti ia bukanlah seorang Jawa yang kolot. Pemahamannya bahwa seseorang haruslah bekerja keras untuk melayani dan bukan untuk dilayani juga menjadi bukti lainnya bahwa ia adalah seorang sosok yang mengombinasikan nilai-nilai luhur dua kultur, yaitu Barat dan Jawa.
Oleh karena persentuhan dua kultur itu, perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam Pergerakan Nasional menjadi unik. Awalnya, ia berjuang dengan masuk organisasi gaya Barat. Ia melihat organisasi sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajahan yang paling mungkin pada awal 1910-an. Akan tetapi, setelah ia diasingkan ke negeri Belanda, ia belajar banyak bahwa organisasi tanpa pencerdasan dan kesadaran rakyat adalah makna kosong. Dari sinilah arah perjuangan Ki Hajar Dewantara berubah. Perubahan itu secara radikal ditunjukkan dengan mendirikan sekolah bernama Taman Siswa pada 1922. Baginya, pendidikanlah yang dapat membuat rakyat sadar akan adanya sebuah penindasan yang menimpa mereka. Dari periode 1920-an inilah kita dapat melihat gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pentingnya pendidikan.

IV. GAGASAN KEBANGSAAN DALAM PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN NASIONAL
4.1. Pemikiran Pertama tentang Pendidikan Nasional
Sejak lahirnya pergerakan nasional, suatu gejala yang penting adalah adanya keinginan yang bertambah luas kepada pendidikan atau pengajaran. Semenjak Budi Utomo lahir, maka soal pengajaran ini selalu tercantum dalam program setiap partai di Indonesia. Dalam aktivitas politik ini, Ki Hajar Dewantara memakai setiap kesempatan yang ada untuk mengeluarkan pendapat-pendapat tentang pengajaran kolonial dan pembaruan-pembaruan yang harus ditempuh sesuai dengan tuntutan ke arah kemerdekaan bangsa. Salah satu perjuangan yang sangat berarti yakni tidak menyetujui penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolah Indonesia. Menurutnya apabila kita menghendaki satu bahasa untuk bangsa kita di seluruh Nusantara, maka janganlah memaksakan salah satu bahasa Eropa, sebab bukankah kita mempunyai bahasa Melayu, yang tidak saja mudah untuk dipelajari, tetapi sudah sejak lama menjadi lingua france di Nusantara.
Ki Hajar Dewantara dalam perjuangannya mengenai pendidikan nasional menyatakan bahwa syarat utama adalah pendidikan nasional dan pendidikan merdeka pada anak-anak, yang akan dapat memberi bekal kuat untuk perjuangan kemerdekaan nasional. Jalan yang ditempuh adalah pendidikan rakyat, di samping pergerakan politik. Keadaan pendidikan bagi rakyat Indonesia pada saat itu tidak saja dalam hal sangat kurangnya pengajaran yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, tetapi juga isi pendidikannya sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa Indonesia sendiri, dan bahkan meracuni jiwa anak bangsa, menanamkan jiwa budak pengabdi kepentingan kolonial semata-mata. Oleh karena itu ide untuk mendirikan sekolah kerakyatan muncul yakni mendirikan Perguruan Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara mengajukan konsep pendidikan dan pengajaran yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan kebangsaan. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara membagi pendidikan ke dalam dua hubungan, yaitu pendidikan dan penghidupan rakyat dan pendidikan dan kebangsaan. Dalam hubungan yang pertama, antara pendidikan dan penghidupan rakyat, terdapat sembilan poin penting yang ia ajukan. Kesembilan poin penting itu antara lain, kekuatan rakyat, mendidik anak adalah mendidik rakyat, sistem pengajaran kerakyatan, penerimaan perbedaan, kemerdekaan manusia, bersandar pada kekuatan sendiri, tugas sebagai rakyat, tidak diperintah, dan persatuan pengajaran.
Sementara itu, dalam hubungan yang kedua, yaitu antara pendidikan dan kebangsaan, ia mengajukan tujuh poin penting yang antara lain, pendidikan nasional yang selaras dengan kehidupan dan penghidupan bangsa, pendidikan nasional adalah hak dan kewajiban bangsa, tidak menerima subsidi pemerintah, tidak terikat lahir dan batin, sistem mengongkosi diri sendiri, adanya badan pembantu umum, dan adanya Steunfonds umum. Dengan demikian, Ki Hajar Dewantara telah merumuskan konsep dan arah pendidikan nasional, di mana tampak dengan jelas bahwa visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang berasaskan kemerdekaan, kebebasan, keseimbangan, kesesuaian dengan tuntutan zaman, berkepribadian Indonesia, dn kesesuain dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan.

4.2. Taman Siswa sebagai Pelaksanaan Asas dan Dasar Pendidikan
Dengan mendirikan sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara mulai mengesampingkan pendekatan politik. Ia dapat mewujudkan keinginan bangsanya, karena usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan sesuai dan merupakan bagian penting pergerakan kemerdekaan indonesia. Selain itu dianggap merupakan perjuangan meninggikan derajat rakyat.
Dalam rangka mendirikan lembaga pengajaran nasional tersebut, Ki Hajar Dewantara memberikan Tujuh Asas Taman Siswa. Asas-asas ini dilengkapi dengan sistem dan cara pendidikan serta tata pergaulan hidup dalam dunia Taman Siswa. Hal ini dinilai sebagai konsepsi kehidupan manusia baru yang bahagia, damai, dan tertib. Adapun asas-asas Taman Siswa yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara.
Azas pertama adalah mengatur diri sendiri (Zelfbeschikkingsrecht). Hak mengatur diri sendiri berdiri bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut among metode.
Azas kedua adalah kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga bagi anak-anak. Maka pengajaran berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang perlu dan baik untuk lahir, batin, dan umum. Oleh karena itu, guru tidak dibenarkan untuk selalu memberi ilmu pengetahuan, tetapi juga harus diusahakan bahwa guru mampu mendidik anak-anak untuk mandiri dan merdeka.
Azas ketiga adalah kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri dimaksudkan sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan yang akan dapat memberi kedamaian dalam hidup bangsa. Pada azas ketiga juga terkandung makna pendidikan yang tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya.
Azas keempat adalah pendidikan yang merakyat. Pendidikan dan pengajaran harus mengena rakyat secara luas. Sebab, hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan.
Azas kelima adalah percaya pada kekuatan sendiri. Ini adalah azas yang penting bagi semua orang yang ingin mengejar ketertinggalannya dan meraih kemerdekaan hidup. Dan itu dapat terwujud melalui kerja yang berasal dari kekuatan sendiri.
Azas keenam adalah zelfbedruipingssysteem atau membelanjai diri sendiri. Azas ini sangat dekat dengan azas kelima. Pada azas ini segala usaha untuk perubahan harus menggunakan biaya sendiri.
Sementara azas terakhir adalah keikhlasan dari para pendidik dan pengajar dalam mendidik anak-anak. Hanya dengan kesucian hati dan keterikatan lahir dan batinlah usaha pendidikan dan pengajaran dapat berhasil.
Asas pendidikan Taman Siswa ini menekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebudayaan, asas kebangsaan, dan asas kemanusiaan.
Sesungguhnya pernyataan asas-asas itu merupakan perpaduan pengalaman Ki Hajar Dewantara tentang aliran pendidikan Barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan “kebahagiaan diri, bangsa, dan kemanusiaan”. Dalam mengembangkan pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara pula menggunakan semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah "tut wuri handayani". Semboyan ini berasal dari ungkapan aslinya "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani".
Ing Ngarsa Sung Tulada: Di depan memberikan keteladanan. Sebagai orang tua, guru atau sebagai pimpinan, anak-anak, para murid dan para bawahan akan memperhatikan tingkah laku orang tua, guru atau pimpinannya. Dakwah yang baik adalah dakwah dengan perbuatan. Ing Madya Mangun Karsa: Di pertengahan memberi semangat. Dalam pergaulan sehari-hari ketika melihat anak-anak, murid atau bawahan mulai mandiri, menjalankan hal yang benar, mereka wajib diberi dorongan, diberi semangat. Kepedulian terhadap perkembangan anak, murid dan bawahan diwujudkan dengan memberi dorongan kepada mereka untuk menjalankan hal yang benar. Seorang anak, murid atau bawahan perlu diberi semangat dalam menjalankan kewajibannya.Tut Wuri Handayani: Di belakang memberi dukungan. Anak-anak, murid atau bawahan yang mulai percaya diri perlu didorong untuk berada di depan. Orang tua, guru atau pimpinan perlu memberi dukungan dari belakang.
Reaksi masyarakat Indonesia atas pernyataan asas itu berbeda-beda. Ada yang menyambut dengan persetujuan, ada yang mengatakan bahwa pernyataan asasi itu berarti memutar jam ke belakang dan ada yang menuduh bahwa Ki Hajar Dewantara akan mendirikan sekolah komunis.
4.3. Perlawanana Masyarakat Indonesia terhadap Ordonansi Sekolah Liar
Setelah tahun 1930-an terjadi suasana kelumpuhan politik di kalangan pergerakan rakyat, karena krisis ekonomi dan akibat politik keras dan kolot Gubernur Jenderal Jhr. B.C. de Jonge dibantah dengan terjadinya perlawanan terhadap sekolah-sekolah Partikelir (swasta) yang dikenal dengan Ordonansi Sekolah Liar. Arti politik perlawanan terhadap peraturan pengawasan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang sangat berhasil di tahun 1932-1933 berkaitan erat dengan perguruan Taman Siswa dan pemimpinnya, Ki Hajar Dewantara, yang merupakan tokoh pusat perlawanan masyarakat Indonesia melawan pembatasan usaha mendidik bangsa sendiri. Masalah itu berlatar belakang sejarah politik pengajaran Hindia Belanda.
Ordonansi itu telah menimbulkan reaksi yang luar biasa dalam masyarakat Indonesia. Bagi pergerakan nasional ordonansi itu tetap merupakan bahaya bagi asas kemerdekaan pengajaran di lingkungan nasional. Masyarakat umum berpendapat bahwa penarikan kembali ordonansi merupaan satu-satunya jalan meniadakan bahaya itu. Oleh karena itu, diputuskan untuk tetap mengambil sikpa menolak dan dibebankan kepada setiap orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukan itu.
Masyarakat Indonesia bertekat membantu aksi Ki Hajar Dewantara, baik secara rohani maupun kebendaan. Akibat adanya ordonansi itu maka timbul suasana rasa persatuan yang menakjubkan. Hal ini nampak bahwa hampir semua partai-partai Indonesia terpenting berdiri di belakang Ki Hajar Dewantara yang dianggap sebagai tokoh nasional. Ini adalah permulaan dari pertumbuhan ke arah kerja sama yang lebih erat, rasa bersatu dan senasib, yang bagaimanapun juga terpaksa dihindari oleh suatu pemerintah kolonial, yang hanya dapat berdiri tegak di dalam perpecahan lawan-lawannya. Sebagai keseluruhan aksi Ki Hajar Dewantara berhasil baik. Kejadian ini membuktikan bahwa kesatuan pergerakan Indonesia, bukan suatu hal yang tak dapat dicapai asal saja sesuatu yang harus dibela itu merupakan milik yang berharga dari bangsa Indonesia. Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut.

4.4. Pengaruh Taman Siswa dalam Perjuangan Nasional Kemerdekaan Bangsa
Segala-galanya adalah mungkin di dalam sejarah, baik kemajuan gemilang yang terus-menerus maupun kemunduran yang berkala. Dan sebagai lembaga pendidikan, Taman Siswa juga mengalami pasang surut di dalam perjuangannya. Sejarah Taman Siswa ialah sejarah kebangsaan Indonesia. Kelahirannya merupakan titik balik dari pergerakan Indonesia, oleh karena kaum revolusioner yang mencoba menggerakkan rakyat dengan semboyan-semboyan asing dan filsafat Marxiisme harus memberikan tempat untuk pergerakan baru, yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap nonkoperatif dengan pemerintah jajahan.
Taman Siswa ini memiliki pengaruh yang luar biasa dalam rangka pergerajakn perjuangan nsional Indonesia. Hal ini tercermin dalam usaha Ki Hajar Dewantara yang berhasil mewujudkan keinginan bangsa Indonesia yakni usaha untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan Indonesia yang merupakan bagian penting dari pergerakan Indoneisa. Selain itu usaha ini menjadi dasar perjuangan meninggikan derajat rakyat.
Pengaruh lembaga Taman Siswa ini pula dihubungkan dengan politik perjuangan bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam sejarah hidupnya yang ditandai dengan kenyataan bahwa Taman Siswa selalu ikut mempertimbangkan kehidupan politik di dalam sepak terjangnya. Pertama dapat disebut, bahwa berdirinya lembaga Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan emdnirikan pranata tandingan. Kedua, kedudukannya sebagai tempat swadaya anggota-anggota partai politik dan secara tidak langsung memupuk kader-kader bangsa Indonesia untuk masa mendatang. Ketiga, perlawanannya terhadap soal-soal asasi dengan pemerintah jajahan. Salah satu ciri yang kentara dalam hubungan kolonial ialah kurangnya perhatian pemerintah jajahan dalam usaha kemasyarakatan, terutama dalam pengajaran dan pendidikan. Pengajaran akan membawa suatu bangsa jajahan ke arah kemauan dan dapat merupakan bahaya bagi kedudukan pemerintah jajahan.
Hubungan corak politk nasionalisme di dalam Taman Siswa dijelaskan oleh Ki Hajar Dewantara demikian; “ Taman Siswa dan segala lapangan usaha sosial lainnya merupakan ladang atau sawah, tempat orang memupuk apa yang perlu bagi keperluan hidupnya. Gerakan politik merupakan pagar, yang melindungi dari gangguan binatang-binatang buas yang akan memakan dan menginjak-injak tunas-tunas tanaman.” Nampak jelas sekali bahwa secara langsung taman Siswa tidak ikut campur dengan politik praktis, tetapi cara perjuangannya berhasil secara horisontal yakni penghimpun segala golongan masyarakat di dalam lingkungan yang dipengaruhinya. Sedangkan berbagai golongan masyarakat di dalam lingkungan tersebut berusaha untuk menghapus sistem kolonial dan mendapatkan kemerdekaan bagi tanah air dan bangsa. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar pamong-pamong (guru) Taman Siswa masuk menjadi anggota partai politik sedangkan murdi-muridnya menjadi anggota organisasi Pemuda Indonesia, kemudian Indonesia Muda.
Nyatalah dengan ini, bahwa Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia di masa mendatang dan yang sudah pasti berjuang pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, pemerintah jajahan berusaha untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, sekolah-sekolah partikelir umumnya. Sejak saat itu Taman Siswa akan menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat masa penjajahan, gagasan-gagasan dasar dari sistem pendidikan yang diungkapankan oleh Ki Hajar Dewantara telah dicoba dan diimplementasikan sebagai pelaksanaan suatu teori pendidikan ekstra kolonial, artinya mencoba untuk mengimbangi sistem pendidkan kolonial dengan sistem pendidikan yang bersumber pada kebudayaan sendiri dan kepercayaan atas kekuatan sendiri untuk tumbuh. Kedudukan rumusan dan Taman Siswa tidaklah dianggap berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari usaha bersama pergerakan kebangsaan mencerdaskan bansa dan menyejahterakan rakyat. Alas dasarnya ialah memberikan isi cinta tanah air (patriotisme), paham kebangsaan (nasionalisme), dan orientasi ke arah rakyat banyak (kerakyatan). Anak didik diharapkan dapat menjadi pekerja-pekerja yang mandiri yang merdeka oikirannya, merdeka jiwanya, dan merdeka tenaganya. Artinya di waktu itu tidak mengikatkan diri dengan sistem kolonial, tetapi mencari jalan sendiri untuk mengahpuskan sistem itu dengan membentuk sistem nasional.

V. PENUTUP
Pada dasarnya paradigma Ki Hajar Dewantara dalam perjuangan nasionalisme terutama pendidikan nasional memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang nonpemerintah dan non-Islam). Konsep pendidikan seperti itu berarti pendidikan yang memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional. Ia dengan tegas menolak pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan mengorbankan aspek kerohanian atau jiwa para siswa. Menurutnya, pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial hanya akan membuat pribumi lupa akan kebudayaannya dan membuat pribumi menjadi tenaga terampil bagi kepentingan pemerintah kolonial. Berkaitan dengan itulah, ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang menawarkan pendidikan berorientasi kepada kebudayaan timur dan mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi dengan kekuatan intelektual.
Ki Hajar Dewantara hidup di tengah pergolakan bangsa menuju kemerdekaan dan pemikiran tentang dasar-dasar masyarakat baru pun tercapai setelah kemerdekaan. Maka dasar-dasar pemikiran tersebut merupakan suatu rangkaian yang ditawarkan kepada segenap bangsa Indonesia untuk dikemabngkan sesuai dengan perubahan alam dan zaman. Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada zaman kolonial kedudukan pendidikan pernah dirumuskan sebagai “dinamit bagi sistem kasta yang dipertahankan dengan ketat di daerah jajahan” atau “merupakan salah satu batu dasar kebijaksanaan kolonial”. Kedua rumusan ini mencerminkan pula kaitan kebijaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan dalam masyrakat kolonial. Sejalan dengan itu pergerakan nasional Indonesia sendiri menempatkan pendidikan sebagai salah satu programnya sebagai usaha mendidik bangsa sendiri. Lebih daripada itu usaha pendidikan yang diselenggarakan Taman Siswa di zaman kolonial bertujuan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional. Hal ini berarti memasukkan dalam cita-cita segala kepentingan bangsa baik lahiriah mengenai penghidupannya maupun yang batiniah yang bertalian dengan kehidupannya.
Akhirnya, ada beberapa hal yang perlu dapat disimpulkan dalam tulisan ini yakni; Pertama, terbukti dengan amat jelas dan meyakinkan, bahwa Ki Hajar Dewantara adalah seorang pendidkan yng sejati. Berbagai pemikiran, gagasan, dan konsep-konsep yang ditawarkan bukan hanya dalam teori tetaoi telah ia praktikkan melalui pergutuan Taman Siswa yang diasuhnya. Kedua, corak pemikiran dan gagasan pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara amat dipengaruhi oleh situasi perjuangan dan pergerakan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Ia mengkritik pendidikan yang diberikan pemerintah Belanda sebagai pendidikan yang tidak bermutu, sekularistik, diskriminatif, dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya, hal ketiga adalah bahwa melalui Perguruan Taman Siswa yang diasuhnya ia ingin membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan yang mutunya tidak kala dengan pendidian yang berasaskan seimbang, bermutu pada niali-nilai kebudayaan bangsa sendiri, serta menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme.

DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Bambang S., 100 Tahun Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan, Jakarta: Pustaka Kartini, 1989.
Karya Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Yogjakarta, 1962.
Nata, H.Abuddin, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Surjomihardjo, Adurrachman, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Sinar Harapan, 1986.
Tauchid, Muchammad, Perdjuangan dan Adjaran Hidup Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa Jogjakarta, 1963.

Jumat, 25 Maret 2011





PENGALAMAN BOROBUDUR:
SEBUAH PENGALAMAN ESTETIS
(Ruben Basenti Moruk, OFM)


Pengantar
Pengalaman merupakan sebuah sejarah hidup yang tak mungkin terulang lagi. Karena waktu sekarang akan segera berlalu dan berubah menjadi waktu lampau. Oleh karena itu, setiap pengalaman memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing. Tidak salah juga, bila kita mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik dalam hidup bila pengalaman tersebut memberikan makna bagi perjalanan hidup manusia.
Berkaitan dengan pengalaman, penulis mengalami sebuah pengalaman yang tak akan dilupakan yakni pengalaman Borobudur. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan secara mendalam mengupas tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Candi Borobudur. Pengalaman ini merupakan sebuah pengalaman estetis yang mempunyai maknanya tersendiri.

Pengalaman Borobudur
Mentari memancarkan keelokkannya di ufuk timur. Angin pun tak kalah mengekspresikan keunggulannya dengan membelai setiap makhluk ciptaan sang Maha Kuasa. Sejauh mata memandang terpampang sebuah keindahan alam yang mempesona. Kawasan yang dikelilingi oleh pegunungan ini menampilkan estetika yang perlu ditatap sebelum melanjutkan perjalanan. Tak ketinggalan pula keramahan penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut menyapa setiap pengunjung yang datang. Pepohonan rindang mengelilingi lokasi tersebut sehingga menghalangi pandangan mata yang tertuju kepada “susunan batu-batu” yang menjadi tujuan perjalanan. Penasaran dan rasa ingin tahu untuk melihat salah satu keajaiban dunia tersebut –Candi Borobudur – sangat kuat.
Setelah membereskan segala urusan administrasi di gerbang pintu masuk, rombongan kami pun memasuki area Candi Borobudur. Candi yang berada di ketinggian di atas bukit membuat pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit tersebut. Ternyata dalam perjalanan beberapa meter dari gerbang pintu masuk “susunan batu-batu” tersebut bisa dilihat. Tak ada perasaan kagum dan takzim yang terusik di dalam hati, kok cuma seperti ini, keajaiban dunia tersebut! Namun, langkah terus terayun menuju tempat yang ‘kok cuma seperti ini’ tersebut.
Tak disangka-sangka pandangan yang lebih dekat tidak bisa membohongi perasaan seorang anak manusia. Hilanglah semua perasaan yang menganggap tidak ada apa-apanya. Candi yang tingginya 35,29 m ini dengan arsitektur yang unik dan klasik terus mengusik perasaan kagum, takjub dan takzim. Teriknya matahari yang berada di atas puncaknya walaupun tidak sebanding dengan panasnya kota Jakarta, tidak bisa menghapus gelora di hati yang hanya bisa diam seribu bahasa. “Candi Borobudur, engkau indah, agung, dan unik”, itulah ungkapan yang cocok dan hanya bisa diungkapkan dalam hati.
Langkah demi langkah berayun menuju puncak candi kuno peninggalan agama Budha ini. Bebatuan andesit yang tertata rapi, patung-patung yang menempati posisinya masing-masing dengan maknanya tersendiri. Tak disadari bahwa dengan hanya melihat dan mengagumi sambil berjalan mengelilingi candi tersebut, sebuah penghormatan yang telah dilakukan kepada roh-roh baik menurut agama Budha yakni Pradiksina. Di satu sisi, pengalaman ini adalah sebuah perajalanan rekreasi tetapi pengalaman religius lebih penting ketika menyadari bahwa Candi borobudur dibangun sebagai tempat bersemadi atau untuk mengheningkan cipta.


Pengalaman Estetis
Pengalaman estetis adalah sebauh pengalaman subjektif berdasarkan pengamatan inderawi dengan seluruh komponen jiwa raganya dan kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Estetika harus berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus dan istimewa. Tentu saja sebuah pengalaman pribadi adalah pengalaman yang dirasakan oleh seorang pribadi; orang hanya bisa tahu apa itu rasa keindahan bila pernah mengalaminya sendiri dan bukan karena diceritakan atau diberitahukan. Hal yang bisa dikatakan bahwa manusia memiliki sikap estetis terhadap sebuah pengalaman adalah sikap praktis (banyak pertanyaan yang muncul), usaha untuk mengambil maknanya, sikap ingin tahu, usaha untuk menerapkan apa yang dialami dan diamati dalam kepentingan pribadi (hal yang religius).
Pengalaman Borobudur merupakan sebuah pengalaman estetis, karena sebauh fenomena yang mengenali wujud bermakna dari candi Borobudur dengan getaran dan rangsangan keindahan. Prof. Dr. Mudji Sutrisno, dalam bukunya tentang Filsafat Keindahan menulis demikian “tidak cukuplah hanya mempunyai rangsangan atau getaran keindahan. Tidak cukup pula kalau cuma mengenali bentuk atau wujud bermakna. Keduanya harus terjadi berbarengan (serentak) serta saling mengisi secara pas.”
Suatu kebiasaan yang sering dilakukan oleh pengunjung di Candi Borobudur, mereka hanya memegang, meraba stupa-stupa yang ada, kemudian memasukkan tangannya ke dalam stupa yang berlubang dengan maksud akan mempeolah keuntungan bila memegang bagian tertentu dari patung tersebut. Dan lebih ironis lagi sering memanjat-manjat arca-arca suci tersebut untuk berfoto ria atau berpose dengan berbagai mode. Hal ini mau menunjukkan bahwa kekaguman dan keterkesanan hanya pada level bentuk candi saja. Karena ketergesaan akan bentuk yang memukau tersebut, kesempatan untuk mengalami getarannya (estetisnya) tidak mendapat perhatian. Seseorang dikatakan mengalami getaran bila timbul kesadaran untuk berusaha atau berniat untuk mempelajarinya.
Beberapa alasan yang akan dikemukakan untuk mempelajari sebuah pengalaman, tetapi batasan utama yang disoroti adalah berdasarkan pandangan G. E. More yang menegaskan bahwa mempelajari atau berkontemplasi penuh pada keindahan itu merupakan salah satu nilai masyarakat berbudaya, di mana manusia menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang menjadi panutan dalam hidupnya. Selain itu, pengalaman keindahannya itu begitu berharga dan bernilai pada dirinya sehingga membutuhkan pengujian dan penelitian mengenai kualitas dari objek yang dilihat.

Pengalaman Estetis dalam Perkembangan Filsafat
Para filsuf Yunani Kuno menekankan pada subjekstivitas dari pengalaman estetis tersebut. Aristoteles dan Plato menyoroti bagaimana pengaruh pengalaman keindahan itu pada watak si subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masayarakat. Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa seni berperan sebagai katarsis: membersihkan kembali jiwa manusia yang mengalami keindahan. Plato mengemukakan pendapatnya bahwa pengalaman estetis dipandang lebih rendah dari hasil seni alam (natural objects) karena pengalaman keindahan itu hanyalah reaksi imitasi pada benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati: wujud tertinggi).
Dalam filsafat Medieval, pegalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu yang indah dan seni dipandang sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia. Pengalaman estetis amat berkaitan erat dengan penglaman religius. Konsep indah yang dialami dimaksudakan dalam dua kata kunci: pertama sebagai” yang terang, yang benderang jernih’ dan yang kedua: sebagai “yang memukau”.
Zaman modern memiliki paradigma yang sama sekali berbeda. Pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang memberi kepuasan, berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap kesadaran rasa tertentu.

Refleksi Filosofis mengenai keindahan Borobudur
Ada dua hal pendalaman filsafati yang mau ditekankan berkaiatan pengalaman estetis Borobudur; pertama; pengalaman estetis ini sangat berkaitan dengan soal perasaan. Perasaaan yang sering kali sangat sulit untuk dikemukakan atau diungkapkan. Kekaguman akan keindahan Borobudur dapat memberikan sebuah ketenangan dan ketenteraman hati. Kedua, ada sebuah relasi antara yang indah dalam huruf kecil dan indah dalam huruf besar (INDAH). Pengalaman akan keindahan berhubungan dengan Sang Sumber Keindahan. Fenomena ini malah menunjuk kesejajaran antar pengalaman estetika dengan pengalaman akan Yang Ilahi.
Pengalaman Borobudur memberikan refleksi tentang Sang Ada itu sekaligus baik, benar, dan indah (Ens est bonum, verum, pulchrum). Baik: menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral, Benar: menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahaun. Dan indah: menjadi gapaian estetika. Dalam pengalaman yang menghubungkan dengan sumbernya atau Yang INDAH, Yang Kudus ternyatalah bahwa manusia hanya mengalami “kehadiran” Yang Kudus, Yang INDAH itu dalam pengalaman “dunia kita”. Artinya bahwa pengalaman Borobudur yang dikatakan melampaui alam pikiran manusia entah itu bentuk, sejarah dan keunikannya menjadi tanda atau alamat, isyarat dari Yang Kudus, yang INDAH.
Nah, bagaimana syarat untuk bisa mengalami yang Kudus, Yang INDAH melalui dunia? Hal pertama: ciri eksisitensial dan mendalam dari pengalaman itu. Artinya, si aku sendiri yang mengalami dan yang melibatkan, itu mengenai eksistensi diri sebagai subjek. Mendalam berarti realitas atau dunia itu dialami sampai ke batas-batasnya. Hal Kedua, yakni ‘disclosure situation’: situasi yang membawa cakrawala ‘kesatuan utuh rentang sejarah dalam satu gerak keabadian. Misalnya pandangan ruang dan waktu dialami sebagai satu keutuhan perjalanan sejarah kosmos ini menuju keabadian. Dengan demikian kedua syarat di atas dapat menjadi pegangan bagi manusia dalam melintasi historisitas hidupnya.*****

Rabu, 16 Maret 2011

PENGARUH HOLOCAUST BAGI FILSAFAT EMMANUEL LEVINAS

1. Pengantar

Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis dan yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945. Peristiwa pemabantaian ini disebut dengan istilah genocide: pembantaian, kekejaman, dan kekerasan yang dilakukan pada sekelompok orang karena identitas etnis, rasa dan lebih dari jutaan orang Yahudi yang terbunuh pada saat itu kamp-kamp konsentrasi dan ladang-ladang pembantaian. Nama Holocaust berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam Alkitab yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan artikel ini, “Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi.
Levinas adalah seorang Yahudi yang hidup di episentrum politik Eropa, dan pernah menjadi saksi hidup holocaust. Peristiwa ini ternyata menjadi salah satu titik tolak pemikiran Levinas. Karena itu orang sulit untuk membedakan karya-karyanya sebagai sebuah karya filosofis atau religios. Cara pemikiran Filsafat Levinas berdasarkan tiga latar belakang kehidupannya pada waktu itu. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah pengaruh agama Yahudi, pemikiran filosofis barat dan fenomenologis. Di sini kita menemukan pemikiran-pemikiran murni dari Levinas. Seperti tadi disebutkan, pengaruh filosofi barat, bertemu fenomenologi, dan khususnya, sebagai seorang Yahudi yang taat, di mana Levinas sangat menghayati kepercayaannya.
Dalam hal mendalami teologi Yahudi, bagi Levinas bukan sesuatu yang asing mengingat sejak kecil orangtuanya mengajarkan bahasa Ibrani dan Rusia kepadanya yang saat itu masih tinggal di Lithuania dengan harapan memperoleh masa depan yang lebih baik. Selain giat mempelajari Talmud dan bacaan-bacaan Yahudi lain, secara khusus Levinas juga sangat terkesan terhadap dua pemikir agama Yahudi: Martin Buber dan Franz Rosenzweig, dua tokoh pembaharu dalam Yudaisme.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Levinas yang dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai orang Yahudi yang mengalami peristiwa holocaust. Ternyata sebagian besar pemikiran Levinas memiliki pengaruh ini terutama dalam karyanya yang terbesar tentang Totality and Infinity dan pemikirannya tentang etikanya.

II. Pokok-Pokok Pemikiran Levinas

1. 1934: Refleksi terhadap aliran Filsafat Hitler
Levinas menunjukkan juga refleksinya yang berkaitan dengan ontologi, seperti yang juga dikatakan oleh Heidegger bahwa esensi sebagai subjek idealisme transendental, bahwa siapa saja ingin bebas. Bagi Levinas, universalisme Yahudi dan Kristianitas dengan partikularitas ras, bahasa mengungkapkan sebuah analisis eksistensialis.
Analisis Levinas tentang tubuh menjauhkan dia dari orang-orang sesamannya (Merleau-Ponty)– “tubuh yang dihidupi” yang mana menurut Ponty “saya tidak memiliki lebih dari yang saya dimilikinya, dan bahwa saya lebih sekadar mempunyai”. Hal berkaitan dengan “tubuh” juga ditekankan oleh Gabriel Marcel dengan tema “Tubuh sebagai Tubuhku”. Salah satu bagian penting yang diungkapkan dalam tema ini adalah “tubuhku adalah tubuhku”; tubuh memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Karena tubuh bukanlah alat begitu saja dan juga bukanlah suatu objek yang dapat dihadapkan dengan diriku sebagai subjek tetapi bahwa tubuh :adalah alat yang mutlak.
Levinas juga kemudian menyesal karena telah memuji sosialisme nasional dengan istilah filsafat. Namun, Levinas tidak membedakan antara teori dan praksis sebagaimana disinggung dalma tulisan Totality and Infinity dengan pernyataan “kaum metafisikawan tidak dapat ditotalisasikan dengan yang lain” di mana jelas bahwa apa yang padanya dihubungkan bukan sebuha kekhususan filsafat melainkan diri (self) sebagai sebuah polaritas transendensi dan ontologi tidak hanya berbicara soal “ada” melainkan sebagai sebuah jalan atau cara khusus di mana diri (self) mengalami dirinya dalam hubungannya dengan “ada”

2. 1961: Totality and Infinity
Dalam karya terbesanya ini, Levinas tidak secara spesifik menyebutkan tentang Holocaust. Tetapi pada bagian pengantarnya, ia memberikan ulasan mengenai sebuah konteks dari realitas perang. Dari kalimatnya yang pertama, “Setiap orang akan dengan mudah menyetujui bahwa hal itu adalah kepentingan yang utama untuk mengetahui apakah kita tidak ditipu oleh moralitas”. Tantangan untuk etika Levinas barangkali lebih tepat muncul dari pengalaman akan tekanan, penindasan, dan mala petaka yang sering dialaminya, di mana Levinas menekankan bahwa kebebasan diletekkan pada pertanyaan oleh “yang lain”, dan dinyatakan sebagai ada yang tidak di-adil-kan hanya ketika hal itu mengetahui dirinya untuk tidak adil.
Latar belakang tersebut tetap berpengaruh dalam berbagai pemikirannya. Adapun tiga aspek pemikiran tersebut yakni mempertanyakan iman agama setelah peristiwa Holocaust, arti atau makna dari Yudaisme, dan relasi antara being (realitas yang susah, usaha mempertahankan hidup) dan beyond being.
Levinas mengatakan bahwa ujian yang paling kuat adalah pengujian dari kenyataan. Dan kenyatan adalah realitas yang dibentuk oleh totalitas. Berkaitan dengan relasi totalitas dan totalitarianisme; gambaran Levinas tentang perang sebagai sebuah fenomena yang meninggalkan kehampaan eksterior dan yang mengubah setia yang lain kepada yang sama. Bagi Levinas, totalitas itu akan runtuh jika bertemu dengan sesuatu yang benar-benar lain, bukan termasuk totalitas egoistik itu, dan benar-benar sesuatu yang bukan aku.

3. 1966: Nameles
Esay terakhir dalam karyanya “Proper Names” berjudul “Nameless”. Essay ini berisi tentang sebuah keterharuan dan pernyataan mendalam yang dikombinasikan pengalaman pribadi dengan usaha untuk menemukan arti keadilan dalam malapetaka yang menakutkan. Dalam essay pendek tersebut, Levinas memberikan tiga kebenaran yang berasal dari pengalaman dalam kamp konsentrasi dan dilanjutkan kepada generasi yang baru.
Pertama adalah “bahwa untuk hidup secara manusiawi, orang membutuhkan sesuatu yang sangat lebih sedikit daripada apa yang mereka buang di dalam peradaban megah yang ditinggalkan. Hal itu seakan-akan selama Holocaust Kaum Yahudi kembali ke padang gurun. Kedua: dalam masa krusial, saat hal itu menunjukkan bahwa semua nilai-nilai kemanusiaan terkikis, semua martabat manusia yang diyakini hilang. Ketiga dan paling terakhir dari kebenaran adalah bahwa generasi baru harus diajarkan "kekuatan yang diperlukan untuk bertahan dalam isolasi, yaitu, ketika tidak ada lembaga yang mengatur, dan hanya satu kepastian yakni suara hati seseorang. Levinas menunjukkan bahwa perlu membuka hati kepada teks Kitab Suci dan memberikan prioritas baru kepada kehidupan batin yakni kembali ke hati nurani masing-masing.
4. 1973: Poetry and Resurrection: Notes on Agnon (puisi dan kebangkitan: catatan kepada Agnon.
Dalam essay (Proper Names) penghargaan kepada Shamuel Agnon. Levinas mengomentari dengan sebuah pertanyaan: Mengapa ada pengungsian? Mengapa harus ada pembunuhan terhadap mereka yang berpegang pada Taurat Hidup? Jawaban atas pertanyaan tersebut yakni kejahatan dalam kejahatan, dan kematian dalam kematian. Dalam menghadapi realitas pengungsian dan pembunuhan, Levinas menunjukkan untuk tidak menghilangkan hakikat seseorang dalam hal membutuhkan keadilan dan menghindari kejahatan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam karyanya ini Levinas senang menggunakan nama-nama yang mendekatinya dan dipengaruhi oleh filsafatnya sebagai prinsip struktural dalam esaynya. Nama-nama tersebut diangkat untuk membendung hal yang terlupakan dan mengingat kematian. Satu aspek dari melestarikan keunikan setiap kehidupan individu, memprotes kematian dan merubah sejarah alienasi.

5. 1974: Otherwise than Being or Beyond Essence (Lain daripada Ada atau di seberang Esensi)
Dalam karya ini ada dua segi dari pesepsi Levinas berkaitan dengan Holocaust yakni segi universal dan partikular. Keduanya direfleksikan dalam tulisan pada bagian awal Otherwise than Being. Pertama di Jerman: untuk mengingat kembali mereka yang dekat dengan enam juta orang yang dibunuh oleh nasional-sosialisme, dan beribu-ribu penganut kepercayaan kepada yang beragama dan semua negara, korban kedengkian manusia lain, sama-sama anti-semitisme. Pengakuan tersebut di satu sisi bersifat khusus (spesifik): mereka yang berdekatan dengan peristiwa tersebut, 6 juta orang, nasional-sosialisme, anti semitisme) tetapi di satu sisi lebih bersifat umum: semua penganut kepercayaan, semua bangsa.

6. 1982: Useless Suffering (Penderitaan yang sia-sia)
Esay ini berkaitan dengan tema teodise. Dalam esay ini diungkapkan pula mengenai relasi asimetri antara aku dan yang lain, yang digunakan dalam situasi khusus dari penderitaan, dengan hasil akhir adalah bahwa hanya berarti dalam diriku, tak berguna bagi yang lain. Kesadaran kewajiban bahwa orang lain menjadi tanggung jawab saya membawa kita lebih dekat dengan Allah tetapi juga dengan secara rohani tetap percaya walaupun dalam segala bentuk teodisi.

7. 1986: The Poirie Interview (Wawancara terbuka dengan Francois Poirie)
Dalam wawancara ini ditunjukkan mengenai perbedaan pemikiran Levinas dan Martin Buber. Berkaitan dengan teks Kitab Suci 1Sam 15:3 , Buber menyatakan bahwa nabi tersebut tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Allah kepada dirinya. Levinas menyanggah dengan keras terhadap interpretasi tersebut. Levinas menyatakan bahwa tanpa perhatian terhadap yang satu tidak mendengarkan yang lain. Selain itu, Buber tidak mengalami peristiwa Auschwitz sehingga tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Levinas juga mengkritik bahwa Buber juga tidak menghargai unitas suara hati dan yang terdapat dalam Kitab Suci.
Dalam wawancara yang sama, Levinas mengomentari tentang Holocaust yang berkaitan dengan pengalaman kehilangan seluruh anggota keluarganya dan Holocaust dinilai sebagai sesuatu yang tidak ada agama. Berkaitan dengan Holocaust ini juga mengomentari tentang relasi diri dengan orang lain, antara I dan Thou adalah relasi asimetris; yang lain lebih tinggi dari saya. Model relasi inilah yang membedakan Levinas dengan Martin Buber, di mana Martin Buber menekankan tentang relasi simetris. Martin Buber menyatakan bahwa manusia mempunyai dua hubungan yang secara fundamental berbeda satu sama lain. Yang satu adalah hubungan dengan benda-benda: Ich – Es (Aku – Itu) dan hubungan yang kedua adalah Ich – Du (Aku – Engkau).

III. Penutup

Kita ingat Levinas ikut menjadi saksi hidup holocaust, atau pembantaian umat Yahudi, serta dinamika peran Yudaisme yang jatuh bangun terguncang peristiwa tersebut. Ini pula yang mengundang minat Levinas mendalami masa-masa krusial dinamika sebuah agama yang berusaha menuntun identitas umatnya kembali. Levinas sendiri merujuk kepada ayat Alkitab Yesaya 53 tentang “Hamba Tuhan yang Menderita”. Masa-masa inilah krisis terbesar bagi Yudaisme, seperti yang diungkapkan Karen Armstrong dalam “History of God” bahwa “Tuhan orang Yahudi telah mati” di kamp Autscwithz, Dan zionisme sebagai sebuah gerakan politik kemudian merebut peran dan orientasi bangsa Yahudi setelah itu.
Tradisi Yahudi pembantaian kaum Yahudi dan semua kepahitan rasial itu cukup membuatnya mempertanyakan sebenarnya di mana Allah saat semua kekejiaan itu terjadi? Dimana Allah saat kaum Yahudi harus mati di dalam suatu camp konsentrasi hanya karena identitas diri mereka? Mengapa semuanya seakan-akan tidak adil bagi dirinya. Disini bagi Levinas, filsafat Barat mengejar totalitas yaitu menjadikan diri sebagai pusat. (Karena bertolak dari aku dan kembali bagi aku Kalau istilah dari Descartes adalah cogito ergo sum, menurut bahasa Levinas : The Philosophy of the same ). Tetapi bagi Levinas, totalitas yang benar hanya didapatkan bila diri telah berjumpa dengan wajah diri orang lain. Jadi baginya subyek menjadi subyek karena subyek bertanggung jawab akan orang lain. Perjumpaan antara sang aku dan yang lain dengan memakai instrumen bahasa yang etis akan membawa manusia kepada yang lain tapi berdimensi ilahi, yaitu Tuhan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, perlakuan kita kepada yang liyan atau sesama (neighbour), juga menyiratkan relasi yang sama kepada Tuhan kita.
Hampir seluruh karya filosofis Emmanuel Levinas, pembaca akan menemukan dedikasinya kepada memoria dari enam juta korban dari Holocaust, dan enam anggota keluarganya yang tetap tinggal di Lithuania selama perang dan dibunuh baik oleh Einsatzgruppen Nazi yang mengikuti Wehrmacht selama invasi Uni Soviet, atau dengan pro-Nazi Lithuania anti-Semit.Hal ini tidak mengherankan, karena Levinas cukup sering mengacu Holocaust dalam tulisannya. Begitu juga gagasan Levinas tentang etika terkait erat dengan gagasan memoria - atau mungkin lebih khusus, dari ketegangan antara memori dan lupa - terikat dengan bencana Holocaust.
Saya akan berpendapat bahwa Levinas menetapkan suatu teori memori pasca-Holocaust, meskipun memori tersebut bisa dilupakan tetapi tulisan-tulisannya tetap berorientasi pada masa depan, daripada terarah kepada pengalaman masa lalu yang sudah terjadi dan tidak bisa dipungkiri lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Smith, Michael B., Toward the Outside; Concepts and Themes in Emmanuel Levinas, Michigan: Duquesne University Press, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Perancis, Kanisius: Jakarta, 2001.
Lanur, Aleks, Kepercayaan dan Eksistensi: Gabriel Marcel, Karl Jasper dan Martin Buber, Diktat Kuliah Filsafat Kontemporer 2010, STF Driyarkara Jakarta.

Jumat, 28 Januari 2011

NIHILISME MENURUT FRIEDRICH W. NIETZSCHE (1844-1900)

Tentang Nihilisme
Nietzsche lahir dalam derap terjang “mitos” kemajuan yang terjadi pada zamannya. Ia lahir dalam perkembangan kebudayaan Barat yang dipengaruhi oleh agama Kristen. Ia lahir dalam masyarakat politik yang berbentuk demokrasi, masyarakat liberal, dan masyarakat demokrasi liberal. Menurut dia, kultur demokratik leberal hanyalah politisasi klaim Kristianitas mengenai persamaan hak dan kewajiban serta segala ideal Kristen lainnya. Krsitianitas dengan klaimnya tersebut telah menjadi ukuran dalam bersikap dan bertingkah laku, serta mengambil keputusan dalam hidupnya untuk menciptakan relasi yang harmoni dengan Allah dan manusia. Segala ideal Kristen telah menjadi suatu kultur yang disebut Kultur moral-Kristen. Pandangan dunia moral-Kristen itu menjadi ciri khas kultur modern atau kultur masyarakat modern. Pandangan seperti ini memunculkan nihilisme.
Nihilisme dimengerti sebagai gerakan historik di Eropa Barat pada abad XIX. Obyek pembahasan nihilisme adalah dunia supraindrawi dan hubungannya dengan hakikat manusia. Kalau Allah sebagai dasar dunia suprainderawi yang menciptakan segala sesuatu itu telah mati, manusia menjadi nihilistik. Sebab kematian Allah berarti juga manusia kehilangan orientasi nilai di dunia ini. Nihilisme demikian adalah sikap tidak percaya pada realitas empirik karena segala sesuatu tidak mempunyai arti lagi. Manusia teracama oleh bahaya nihilisme karena semua nilai kristiani akan lenyap.
Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah lazim pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilsime bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat. Nietzsche dalam buku kumpulan aforismenya Der Willezur Macht, dia membuka tulisannya dengan gagasan tentang Nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Semangat nihilistiknya juga banyak ditemukan di dalam karya-karyanya dan amat jelas terdapat dalam karyanya Die Fröhliche Wissenschaft (1882). Dengan tema ini ia mau menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini pun akan berlangsung terus-menerus secara tak terelakkan.
Secara langsung, Nietzsche dipengaruhi oleh tulisan Paul Bourget yang berjudul “Le Nihilisme et la Morale de Nietzsche Contemporaine” (Essai tentang Psikologi Kontemporer) yang menggunakan istilah nihilisme untuk menggambarkan sebuah tipe psikologi. Dan tipe seperti itu digambarkan sebagai “une mortelle fatigue de vivre”, kelelahan mematikan dalam menjalani hidup. Nietzsche menggunakan nihilisme untuk menggambarkan karakter peradaban Eropa itu sendiri, yang pada zamannya ditandai oleh kematian Tuhan dan mulai pudarnya nilai-nilai lama, yaitu nilai-nilai platonico-kristiani.
Dengan demikian, Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah ada pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilisme bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia dijadikan bahan filsafat.
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya” (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!). Ucapan ini merupakan awal perjuangan Nietzsche melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang semakin pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah bahwa Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Jaminan kepastian lainnya, menurut Nietzshe adalah ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan (progress). Dalam merumuskan runtuhnya dua jaminan kepastian tersebut, Nietzsche merumuskan keruntuhan paradigma seluruh krisis dalam kalimat “Tuhan sudah mati”.
Pengidentifikasian diri sebagai orang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang menjadi pegangan (yang mencirikan kewarasan) kini seluruhnya sudah roboh. Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud mau membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Nietzsche, pembuktian mengenai eksistensi Tuhan merupakan cara bicara para metafisisi yang hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. Sedangkan Nietzsche dalam nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu.
Nietzsche memberikan sebuah hipotesa tentang nihilisme yang sangat menarik bahwa nihilisme adalah normalitas. Nihilisme selalu ada, ia adalah keadaan normal manusia, ia bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat sebuah normalitas “tersembunyi”, yang ada secara taken for granted, hanya dibicarakan, tetapi belum diungkapkan makna yang sesungguhnya. Nietzsche membuka apa yang selama berabad-abad dianggap sebagai normal-normal belaka. Ia menunjukkan dalam “pengandaian hipotesa nihilisme” bahwa hal-hal tersebut sebetulnya ketiadaan (nihil, nothingness) belaka. Nihilisme berarti penyingkapan bahwa di balik ide indah tentang Idea, Tuhan atau apa pun ternyata hanyalah kekosongan belaka. Lebih parah lagi bahwa idea kekosongan ini ternyata sepanjang segala abad dikehendaki dengan mati-matian. Hal ini adalah ironi zaman, menurut Nietzsche, kehendak akan Kebenaran-Kebaikan-Keadilan secara mati-matian ternyata hanyalah kehendak akan kekosongan. Tersingkapkan sekarang bahwa valuasi berlebihan atas nilai tersebut memiliki sisi mematikan lainnya, yaitu devaluasi atas realitas senyatanya.
Nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan akibat yang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak sejarah ini roh manusia semakin kuat. Bersamaan dengan itu Tuhan yang pernah diakui sebagai tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia, semakin pudar. Setiap usaha untuk menghidupkan-Nya kembali sia-sia. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi menyulitkan dan akhirnya mempercepat proses nihilisme. Situasi nihilistik ini pada akhirnya menjadi semangat zaman karena melampaui kekuasaan manusia perorangan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, matinya Tuhan menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme.
Nietzsche memberikan sebuah ramalan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk nihilisme yang radikal. Sebenarnya nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan sudah mati”, tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Apabila dirumuskan dengan gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia; dan ditambah lagi dengan pemahaman bahwa kita tidak lagi mempunyai hak sedikit pun untuk menyatakan ciri di seberang (Jenseits) dan pada dirinya (an sich) dari segala sesuatu seolah-olah bersifat ilahi atau merupakan moral yang menjelma.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya. Menurut Nietzsche manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai. Dan ia menunjukkan bagaimana harus melakukannya tanpa bercita-cita menciptakan tuhan-tuhan yang baru.

Macam-macam Nihilisme
Pertama: Nihilisme pasif. Nihilisme pasif atau nihilisme kecapekan marupakan persetujuan yang bersifat pesimistis bahwa nilai-nilai tersebut tidak ada dan hidup ini tidak ada tujuan. Nihilisme ini merupakan sebuah penemuan bahwa “dunai ideal” yang selama ini dipuja ternyata hanya sebuah kekosongan belaka, dan tinggal tetap dalam shock tersebut. Ia tahu bahwa dirinya hanya memuja kekosongan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa lagi di tengah penemuan shocking itu. Ia tahu bahwa dunia ternyata kosong-makna, dan kehendaknya yang cacat tidak sanggup mangutuhkan diri untuk segera mengomando sebuah keutuhan nilai. Ia hanya tinggal di dalam keterserakan kehendak, dan berpuas diri dalam aliran-menjadi kaotis realitas. Ia bergelimang dalam ketanpamaknaan dan perlahan-lahan membusukkan dirinya (dekomposisi).
Kedua: Nihilisme aktif. Nihilisme aktif atau nihilisme yang tuntas merupakan suatu sikap setuju dan bersukacita akan hilangnya nilai-nilai dan makna raibnya makna dan moralitas dialami sebagai sebuah kemenangan dan pembebasan. Dia yang menyadari kekosongan di balik “dunia ideal”, menerima kekosongan tersebut, dan dari kekosongan masih mampu mengafirmasi sesuatu, memproduksi tujuan-tujuan sementara. Ia tahu bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan itu semua adalah ilusi yang ia pakai, ia terima, sekaligus ia sadari sebagai sementara. Dalam gerak meng-iyai permukaan (ilusi) dan meng-iyai wujud-wujud baru ke-dalam-an seperti itu si nihilis akan menari-nari dan bersukacita. Ia hidup di permukaan, di bibir jurang ke-dalam-an. Dunia merupakan campur aduk antara permukaan (ilusi) dan ke-dalam-an, dan dua-duanya ia terima. Semua tindakannya tidak diabdikan untuk peneguhan nilai-nilai, sebab tindakannya itu sendirilah nilainya.

Dalam Horizon Ketidakterbatasan – Cara Mengatasi Nihilisme
Kematian Tuhan yang telah diumumkan memberikan perasaan “tidak selesai”. Manusia masih resah dan mencari horizon yang mungkin masih bisa dibayangkan. Ketakterbatasan yang terbuka belum tentu membuat manusia berani mengarunginya. Ketakterbatasan yang terbuka belum tentu membuat manusia berani mengarunginya karena laut sabagai “monster indah” justru bisa menjadi sasuatu yang tak terbatas dan menakutkan.
Nietzsche sangat serius dan sadar akan konsekuensi warta kematian Tuhan. Pengalaman tersebut dalam bahasa si orang sinting, seperti “mengosongkan lautan” atau “menghapus seluruh horizon”. Kematian Tuhan ibarat “melepaskan bumi ini dari matahari” yang membuat “kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti”, atau bahkan “menyasar-nyasar melewati kekosongan tanpa batas”. Suatu nihilisme dalam bentuknya yang paling radikal.
Keadaan di mana para tuhan sudah mati dapat dilihat dalam salah satu aforismenya yang berjudul “Dalam Horizon Ketidakterbatasan” (Im Horizont des Unendlichen).
Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita—dan lagi, kita juga sudah membakar daratan di belakang kita. Dan kini hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu. Memang benar, dia tidak senantiasa mengaum...namun, akan tiba waktunya, kau akan tahu, bahwa dia itu tidak terbatas....Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu (Land-Heimweh) yang seolah-olah menawarkan kebebasan lebih banyak—dan tidak ada daratan lagi .
Di satu sisi, kematian Tuhan tidak serta merta menuntaskan perjuangan manusia karena ia masih harus bertempur dengan bayang-bayangnya, yang adalah metafisika. Tetapi di sisi lain, perziarahan baru dalam ketakterbatasan yang baru terbuka bisa jadi merupakan jebakan ke sebuah penjara baru yang menakutkan. Lalu apa yang harus dilakukan manusia? Atau kita membiarkan keadaan itu berlangsung terus begitu sehingga kita dibayang-bayangi krisis terus-menerus?
Nietzsche menolak sikap diam dalam menghadapi nihilisme. Sikap diam bukanlah netral. Sikap diam berarti membiarkan diri didikte oleh keadaan nihilistik atau krisis terus-menerus. Sikap ini akan mengantar manusia ke dalam situasi dekaden yang tak tertahankan. Dekaden merupakan sebuah sikap tak berani berkata “Ya” pada hidup.
Jika nihilisme berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi, tidak menolak nihilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap bentuk model Tuhan, yang melalui dirinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apapun. Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu khaos dan nihil. Nietzsche memandang nilai tidak lebih daripada titik berangkat dari suatu pengembaraan. Menurut Nietzsche, tidak ada kebenaran absolut.
Dengan demikain, secara singkat nihilisme dapat disimpulkan sebagai suatu kehilangan makna. Manusia tenggelam dalam situasi tertentu dan menerima saja keberadaannya. Suatu sifat nilai-nilai dan kultur tertentu yang menyediakan makna ilusoris tentang kekuasaan sebagai agensi. Menghadapi bahaya nihilisme ini, Nietzsche mengusulkan interpretasi baru. Interpretasi baru harus praktis. Karena itu, manusia harus memahami dirinya sebagai subjek masa kini dan masa depan. Untuk memperkuat pendapatnya tentang otoritas subjek, ia melemparkan dan mengklaim “ Tuhan sudah mati”. Bila Allah sudah mati, manusia dapat bebas mewujudkan kekuasaannya. Dengan meninggalkan Tuhan yang dianggap sebagai peletak dasar nilai-nilai, manusia berhadapan dengan suatu kemayaan. Kemayaan ini telah menghadang manusia. Manusia mulai mempertanyakan nilai segala sesuatu, termasuk dirinya.


Daftar Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007.
Hariyadi, Matias, “Manusia sebagai Problem”, dalam Basis, Majalah Bulanan September 1987, No. XXXVI-9.
Setyo Wibowo, A., Gaya Filsafat Netzsche, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
---------------- ------, dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Sunardi, St., Nietzsche, Yogyakarta: LkiS, 1996.

Minggu, 18 Juli 2010

ADAT PERKAWINAN PATRILINEAR SUKU TETUN – BELU UTARA – TIMOR - NTT - Indonesia

Catatan Awal
Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk hidup. Disiplin ilmu pengetahuan ini ditujukan kepada sifat-sifat khusus badani dan cara produksi, tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup yang lainnya. Masyarakat dibentuk oleh berkumpulnya individu-individu. Salah satu cara terbentuknya masyarakat adalah melalui perkawinan. Dalam tulisan ini saya mencoba menunjukkans secara khusus masyarakat Belu dalam kaitannya dengan perkawinan adat patrilineal.


BAB I
KABUPATEN BELU SELAYANG PANDANG

I. Keadaan Umum Kabupaten Belu
Letak kabupaten Belu sangat strategis, di samping berbatasan dengan negara baru Timor Lorosae juga berada pada jalur utama yang menghubungkan antara ibu kota propinsi NTT (Kupang) dengan ibukota Timor Lorosae (Dili). Kabupaten Belu terletak pada koordinat 1240-1260 BT dan 80-100 LS dengan batas wilayah sebagai berikut:
 Utara berbatasan dengan Selat Ombai,
 Selatan berbatasan dengan Laut Timor, Laut Australia
 Barat berbatasan dengan Kabupaten TTU dan TTS
 Timur berbatasan dengan Timor Lorosae.
Luas wilayah kabupaten Belu 2.445,57 km2 (5,16 % dari luas provinsi NTT). Secara admisnistrasi terbagi atas 8 kecamatan, 4 kecamatan pembantu, 89 desa, dan 12 kelurahan.
Ibukota kabupaten Belu adalah Atambua, sebuah kota terletak sekitar 500 meter dari permukaan laut. Suku yang mendiami wilayah ini terdiri atas
 Suku Tetun sebagai suku terbesar yang mendiami Belu Utara dan Belu Selatan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Tetun; bahasa ini juga yang digunakan oleh sebagian masyarakat di negara Timor Leste.
 Kelompok suku lain yang lebih kecil adalah Bunag atau Marae yang tinggal di kecamatan Lamaknen dan menyebar (tidak merata) di wilayah yang didiami suku Tetun. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Marae.
 Suku Kemak mendiami daerah perbatasan Lamaknen sampai ke pantai utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kemak
 Suku Melus merupakan penduduk asli yang sedikit jumlahnya dan dianggap seolah-olah sebagai pendatang. Bahasa yang dugunakan adalah bahasa Melus.


II. Arti Istilah Belu dan Semboyan Masyarakat Belu
Istilah Belu dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman. Berdasarkan arti ini, maka persaudaraan sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama. Persaudaraan di antara orang-orang Belu menjadi landasan dalam mewujudkan cita-cita untuk membangun Rai Belu (tanah Belu).
Dalam kehidupan bersama, masyarakat Belu mengenal satu semboyan yaitu Husar binan tetuk no nesan. Semboyan ini merupakan cita-cita dan harapan masyarakat Belu dalam rangka mewujudkan Belu yang sejahtera, nyaman, aman, mempesona, dan bersahabat. Arti dari semboyan di atas adalah bahwa dengan semangat persaudaraan, masyarakat Belu membangun daerahnya menuju tercapainya kesejahteraan lahir batin yang serasi dan seimbang. Untuk sampai pada kesejahteraan lahir dan batin, dituntut suatu usaha keras dari semua elemen masyarakat di kabupaten Belu. Berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan semboyan di atas, ada satu ungkapan yang berbunyi, “Serwisu nu ata, ha nu Nain”, yang berarti bekerja seperti hamba, makan seperti raja.
BAB II
UPACARA ADAT PERKAWIANAN
KABUPATEN BELU

2. 1. Mengenal Perkawinan Kabupaten Belu khususnya Suku Tetun – Belu Utara
Ada tiga jenis perkawinan yang pada umumnya diharamkan oleh masyarakat Belu, baik pada masyarakat matrilineal maupun patrilineal antara lain sebagai berikut,
1. Feton oan, yaitu perkawinan antara saudara sekandung. Jika terjadi maka ungkapannya: asu matan at (anjing yang buta matanya).
2. Oan susun, yaitu perkawinan antar ayah dengan anak kandungnya. Jika terjadi pelanggaran tersebut, maka diistilahkan asu na nikar oan, manu nemu nikar tolun (anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya)
3. Oan no inan, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan ibunya. Jika terjadi pelanggaran, maka perbuatannya dikatan asu sae tetu, asu nador kaok (anjing menaiki loteng, mengotori sarang).
Apabila terjadi perkawinan incest maka akan dihukum dengan hukuman yang keras yaitu pria dan wanita dipaksa untuk mengisap usus babi (fahi ten), serta dikucilkan dari suku (lelen sai).
Perkawinan yang dibenarkan dalam adat perkawinan Belu, antara lain sebagai berikut,
1. Anak saudara dikawinkan dengan anak saudari (nan niti hein feto)..
2. Anak mengawini bekas istri pamannaya (oan nola nikar nian kii baki)
3. Paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (baba nola nikar nian uma nain uma ruin)
”Model perkawinan ini semakin ditinggalkan seiring dengan perkembangan zaman yang menganggap bahwa model perkawinan tersebut tidak baik.”
Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni sistem perkawinan patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah), dan sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu).
Sistem perkawinan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sitem perkawinan Patrilineal.

2.2. Sistem Perkawinan Patrilineal
Bentuk perkawinan ini bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang agar bisa membeli putus istri. Hal ini berarti istri masuk dalam keluarga lelaki atau suami. Di sini terlihat bahwa kedudukan wanita sangat tinggi derajatnya karena wanita sesudah kawin dianggap sebagai uma nain atau wanita tuan rumah. Keunikan dari perkawinan patrilineal adalah membayar mahar kawin atau belis sebanyak 24 jenis dengan rincian meliputi uang perak, uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah. Berhubung martabat wanita begitu besar maka pihak keluarga atau klan penerima gadis harus bergotong royong untuk membeli putus gadis tersebut. Mahar kawin atau belis tersebut menjadi penentu derajat sang suami menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi.
Perkawinan patrilineal mempunyai beberapa akibat yaitu sebagai berikut:
1. Istri menerima suku suami dan dihormati sebagai wanita utama dalam suku deu gomo dan suaminya momen mone (lelaki tua)
2. Sang suami mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya.
3. Anak-anak masuk anggota suku ayah.
4. Hubungan malu ai bersifat abadi
5. Poligami tidak diizinkan, demikian pula tidak ada perceraian
6. Berzinah dihukum dengan potong kepala

2.3. Tahap Sistem Perkawinan Patrilineal Daerah Belu
Adapun tahap-tahap yang harus dilewati oleh seorang pemuda dan seorang pemudi menjelang upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
 Ba’boe (Masa Pacaran) merupakan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Membuka diri untuk menerima segala masukan sebagai persiapan dalam memasuki masa yang akan datang.

 Lolo leten (Tahap pengenalan secara akrab)
Pada tahap ini, pihak keluarga dari kedua insan pun dilibatkan karena ditahap ini, pasangan muda-mudi akan memutuskan sebuah kesepakatan penting dalam rangka perkawinan nanti. Perlengkapan yang harus disiapkan oleh si pria pada tahap ini adalah fuik (sirih) dan bu’a (pinang). Acara ini dilakukan hanya pada malam hari. Caranya ialah si pria harus ke rumah si gadis dan menyodorkan sirih pinang yang dibawanya melalui pintu depan rumah bagian atas dalam keadaan terkunci. Keduanya hanya boleh berkomunikasi tanpa bertatapan langsung antara mata dengan mata.
 Labu feto (Pelamaran)
Setelah mencapai kata sepakat bahwa kedua pihak setuju untuk melangsungkan perkawinan, maka tahap berikutnya ialah si pria harus melamar si gadis dengan resmi. Tahap ini dilakukan dengan cara, yaitu dengan aikalete (jembatan) dan tanpa aikalete. Aikalete bertugas sebagai penghubung antara kedua belah pihak. Perlengkapan yang harus dibawa adalah berupa sirih-pinang dan terkadang dibawa pula emas (kalung, anting, gelang dsb).
 Tara horak (Tukar cincin)
Tahap ini dikenal dengan fuik tahak-bua tahak atau fuik husu-bua husu, yaitu persiapan meminang. Peminangan itu sendiri dapat berakhir dengan tara horak (tukar cincin). Sang pemuda dan keluarga membawa siri pinang, uang perak, cincin emas satu pasang, dan benang sesuai adat kebiasaan, sedangkan keluarga perempuan menyiapkan kain sarung adat dan lain sebagainya.
 Tahap pertunangan (Jodoh)
Pada tahap ini, si pria dan si gadis tidak diperkenankan untuk berpacaran dengan pasangan lain sebab keduanya telah diikat dengan cinta sejati yang akan disatukan pada puncak perkawinan nanti. Bahkan lebih dari itu, si gadis akan dikurung untuk tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat persetujuan khusus dari orang tua.
 Ha lia (puncak perkawinan = pesta adat meriah)
Puncak dari semua tahap yang dilewati berakhir dengan upacara perkawinan (pesta adat meriah) di rumah si gadis. Keluarga dari kedua pihak akan hadir semuanya untuk menyaksikan awal kehidupan keluarga baru ini dengan memberikan saran dan pengetahuan tertentu yang dikenal dengan istilah sadan umakain. Tua-tua adat dari kedua belah pihak akan berkumpul di suatu labis (tempat duduk) untuk memberikan nasihat kepada pengantin baru yang akan memulai hidup baru. Nasihat-nasihat itu menjadi bekal dan modal utama dalam mengarungi bahtera hidup.
 Tahap pemindahan wanita ke keluarga laki-laki.
Pada tahap ini keluarga lelaki datang menjemput mempelai wanita. Biasanya ada pihak keluarga wanita yang ikut mengantar ke rumah lelaki.

2.4. Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu
Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu digolongkan menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
1. maksud dan tujuan tahap adat perkawinan di suku Marae dan suku Kemak di Belu Utara adalah:
a) perkawinan patrilineal merupakan perkawinan yang dikenal di Belu Utara yang bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang supaya dapat membeli putus istri. Dengan demikian istri dimasukan dalam klan suami.
b) Mempererat hubungan antara klan pemberi wanita dan klan penerima wanita.
c) Untuk mendapat keturunan yang akan menjadi ahli waris dalam keluarga lelaki.
d) Agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dipertahankan keberadaannya.
e) Agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku
f) Setiap tahapan adat perkawinan yang luhur itu dihargai dan dihormati secara turun-temurun.

2. Maksud dan tujuan tahapan perkawinan adat suku Tetun dan Buna di Malaka (Belu Selatan), yaitu sebagai berikut
a) agar setiap pemuda yang hendak kawin dapat membayar mahar kawin atau belis sesuai ketentuan adat (khusus untuk suku Buna)
b) agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dapat dipertahankan secara turun-temurun
c) agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku
d) agar perkawinan itu berdampak positif dan dihargai oleh masyarakat
e) sebagai ungkapan resmi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali kedua belah pihak itu sendiri.

2.4. Peralatan, Perlengkapan, Aturan dan Tata Tertib
1. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal yaitu sebagai berikut: mahar kawin sebanyak 24 jenis dengan perincian:
a) uang perak
b) uang emas
c) selimut tenun ikat dan sulam
d) alat-alat mainan bahkan sampai kebun
e) hamba bagi golongan atas
Jenis mahar kawin tersebut adalah: a) Sigal saen hotel nor sigal saen, membayar uang tunangan; b) Borapit Jewen, membentang tikar untuk tamu yang datang; c) tagu turing, memelihara istri atau memberi makan; d) bei gotin, mohon doa restu leluhur; e) mapo tesi watan lotung, membayar kelelahan ayah; f) Bokan no Nalas, membayar kelelahan ibu; g) Gubul o Geweel, ganti rugi si gadis; h) sumamal, su soat, pemeliharaan gadis dari kecil sampai besar; i) lor wa lor wul, perpisahan dengan suku atau marga; j) tajung lor, tajung hoto, perpisahan rumah suku; k) Sul o Suliq, perpisahan dengan senjata keramat; l) Loq masak, Loeq gol, perpisahan dengan kebun rumah; m) Tel Wese, perpisahan dengan kuburan suku; n) Saki o jig, penegasan asal suku; o) Opel Ganal, penanggalan anggota suku; p) Pirag noq Topol, pengumuman kepada suku; q) sae ope, mambayar daging santapan bersama; r) peg naran peg tiluq, kedudukan dalam masyarakat; s) depal gei naran, depal gei tilug; t) sawe sepak; u) Kira Bian, sebagai penghargaan terhadap wanita dalam masyarakat; v) Jan neka, cie nokar, membayar hewan pengawal; w) Palu pae goloq, membayar kebun yang dipetik; x) Opa tutul gie rine pin gie, hamba untuk membantu.
2. Aturan dan tata tertib yang perlu ditaati dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal adalah sebagai berikut:
a) hendaknya setiap lelaki yang ingin kawin harus membayar mahar kawin sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku,
b) menikah tidak boleh lebih dari satu suami atau istri
c) perkawinan tidak dapat dilakukan jika keduanya berhubungan darah langsung,
d) poligami tidak diperkenankan setelah hidup bersama,
e) tidak boleh terjadi perzinahan, sebab bila terjadi hukumannya dalah potong kepala.

Penutup
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami, ternyata benar bahwa manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara dialektis. Kebudayaan merupakan unsur konstitutif dari esensi manusia. Kebudayaan adalah hasil usaha manusia yang membantu manusia dalam berinteraksi. Dengan kata lain, segala tingkah laku manusia dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan memberi kepada manusia suatu struktur yang kuat.