Jumat, 25 Maret 2011





PENGALAMAN BOROBUDUR:
SEBUAH PENGALAMAN ESTETIS
(Ruben Basenti Moruk, OFM)


Pengantar
Pengalaman merupakan sebuah sejarah hidup yang tak mungkin terulang lagi. Karena waktu sekarang akan segera berlalu dan berubah menjadi waktu lampau. Oleh karena itu, setiap pengalaman memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing. Tidak salah juga, bila kita mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik dalam hidup bila pengalaman tersebut memberikan makna bagi perjalanan hidup manusia.
Berkaitan dengan pengalaman, penulis mengalami sebuah pengalaman yang tak akan dilupakan yakni pengalaman Borobudur. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan secara mendalam mengupas tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Candi Borobudur. Pengalaman ini merupakan sebuah pengalaman estetis yang mempunyai maknanya tersendiri.

Pengalaman Borobudur
Mentari memancarkan keelokkannya di ufuk timur. Angin pun tak kalah mengekspresikan keunggulannya dengan membelai setiap makhluk ciptaan sang Maha Kuasa. Sejauh mata memandang terpampang sebuah keindahan alam yang mempesona. Kawasan yang dikelilingi oleh pegunungan ini menampilkan estetika yang perlu ditatap sebelum melanjutkan perjalanan. Tak ketinggalan pula keramahan penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut menyapa setiap pengunjung yang datang. Pepohonan rindang mengelilingi lokasi tersebut sehingga menghalangi pandangan mata yang tertuju kepada “susunan batu-batu” yang menjadi tujuan perjalanan. Penasaran dan rasa ingin tahu untuk melihat salah satu keajaiban dunia tersebut –Candi Borobudur – sangat kuat.
Setelah membereskan segala urusan administrasi di gerbang pintu masuk, rombongan kami pun memasuki area Candi Borobudur. Candi yang berada di ketinggian di atas bukit membuat pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit tersebut. Ternyata dalam perjalanan beberapa meter dari gerbang pintu masuk “susunan batu-batu” tersebut bisa dilihat. Tak ada perasaan kagum dan takzim yang terusik di dalam hati, kok cuma seperti ini, keajaiban dunia tersebut! Namun, langkah terus terayun menuju tempat yang ‘kok cuma seperti ini’ tersebut.
Tak disangka-sangka pandangan yang lebih dekat tidak bisa membohongi perasaan seorang anak manusia. Hilanglah semua perasaan yang menganggap tidak ada apa-apanya. Candi yang tingginya 35,29 m ini dengan arsitektur yang unik dan klasik terus mengusik perasaan kagum, takjub dan takzim. Teriknya matahari yang berada di atas puncaknya walaupun tidak sebanding dengan panasnya kota Jakarta, tidak bisa menghapus gelora di hati yang hanya bisa diam seribu bahasa. “Candi Borobudur, engkau indah, agung, dan unik”, itulah ungkapan yang cocok dan hanya bisa diungkapkan dalam hati.
Langkah demi langkah berayun menuju puncak candi kuno peninggalan agama Budha ini. Bebatuan andesit yang tertata rapi, patung-patung yang menempati posisinya masing-masing dengan maknanya tersendiri. Tak disadari bahwa dengan hanya melihat dan mengagumi sambil berjalan mengelilingi candi tersebut, sebuah penghormatan yang telah dilakukan kepada roh-roh baik menurut agama Budha yakni Pradiksina. Di satu sisi, pengalaman ini adalah sebuah perajalanan rekreasi tetapi pengalaman religius lebih penting ketika menyadari bahwa Candi borobudur dibangun sebagai tempat bersemadi atau untuk mengheningkan cipta.


Pengalaman Estetis
Pengalaman estetis adalah sebauh pengalaman subjektif berdasarkan pengamatan inderawi dengan seluruh komponen jiwa raganya dan kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Estetika harus berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus dan istimewa. Tentu saja sebuah pengalaman pribadi adalah pengalaman yang dirasakan oleh seorang pribadi; orang hanya bisa tahu apa itu rasa keindahan bila pernah mengalaminya sendiri dan bukan karena diceritakan atau diberitahukan. Hal yang bisa dikatakan bahwa manusia memiliki sikap estetis terhadap sebuah pengalaman adalah sikap praktis (banyak pertanyaan yang muncul), usaha untuk mengambil maknanya, sikap ingin tahu, usaha untuk menerapkan apa yang dialami dan diamati dalam kepentingan pribadi (hal yang religius).
Pengalaman Borobudur merupakan sebuah pengalaman estetis, karena sebauh fenomena yang mengenali wujud bermakna dari candi Borobudur dengan getaran dan rangsangan keindahan. Prof. Dr. Mudji Sutrisno, dalam bukunya tentang Filsafat Keindahan menulis demikian “tidak cukuplah hanya mempunyai rangsangan atau getaran keindahan. Tidak cukup pula kalau cuma mengenali bentuk atau wujud bermakna. Keduanya harus terjadi berbarengan (serentak) serta saling mengisi secara pas.”
Suatu kebiasaan yang sering dilakukan oleh pengunjung di Candi Borobudur, mereka hanya memegang, meraba stupa-stupa yang ada, kemudian memasukkan tangannya ke dalam stupa yang berlubang dengan maksud akan mempeolah keuntungan bila memegang bagian tertentu dari patung tersebut. Dan lebih ironis lagi sering memanjat-manjat arca-arca suci tersebut untuk berfoto ria atau berpose dengan berbagai mode. Hal ini mau menunjukkan bahwa kekaguman dan keterkesanan hanya pada level bentuk candi saja. Karena ketergesaan akan bentuk yang memukau tersebut, kesempatan untuk mengalami getarannya (estetisnya) tidak mendapat perhatian. Seseorang dikatakan mengalami getaran bila timbul kesadaran untuk berusaha atau berniat untuk mempelajarinya.
Beberapa alasan yang akan dikemukakan untuk mempelajari sebuah pengalaman, tetapi batasan utama yang disoroti adalah berdasarkan pandangan G. E. More yang menegaskan bahwa mempelajari atau berkontemplasi penuh pada keindahan itu merupakan salah satu nilai masyarakat berbudaya, di mana manusia menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang menjadi panutan dalam hidupnya. Selain itu, pengalaman keindahannya itu begitu berharga dan bernilai pada dirinya sehingga membutuhkan pengujian dan penelitian mengenai kualitas dari objek yang dilihat.

Pengalaman Estetis dalam Perkembangan Filsafat
Para filsuf Yunani Kuno menekankan pada subjekstivitas dari pengalaman estetis tersebut. Aristoteles dan Plato menyoroti bagaimana pengaruh pengalaman keindahan itu pada watak si subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masayarakat. Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa seni berperan sebagai katarsis: membersihkan kembali jiwa manusia yang mengalami keindahan. Plato mengemukakan pendapatnya bahwa pengalaman estetis dipandang lebih rendah dari hasil seni alam (natural objects) karena pengalaman keindahan itu hanyalah reaksi imitasi pada benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati: wujud tertinggi).
Dalam filsafat Medieval, pegalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu yang indah dan seni dipandang sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia. Pengalaman estetis amat berkaitan erat dengan penglaman religius. Konsep indah yang dialami dimaksudakan dalam dua kata kunci: pertama sebagai” yang terang, yang benderang jernih’ dan yang kedua: sebagai “yang memukau”.
Zaman modern memiliki paradigma yang sama sekali berbeda. Pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang memberi kepuasan, berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap kesadaran rasa tertentu.

Refleksi Filosofis mengenai keindahan Borobudur
Ada dua hal pendalaman filsafati yang mau ditekankan berkaiatan pengalaman estetis Borobudur; pertama; pengalaman estetis ini sangat berkaitan dengan soal perasaan. Perasaaan yang sering kali sangat sulit untuk dikemukakan atau diungkapkan. Kekaguman akan keindahan Borobudur dapat memberikan sebuah ketenangan dan ketenteraman hati. Kedua, ada sebuah relasi antara yang indah dalam huruf kecil dan indah dalam huruf besar (INDAH). Pengalaman akan keindahan berhubungan dengan Sang Sumber Keindahan. Fenomena ini malah menunjuk kesejajaran antar pengalaman estetika dengan pengalaman akan Yang Ilahi.
Pengalaman Borobudur memberikan refleksi tentang Sang Ada itu sekaligus baik, benar, dan indah (Ens est bonum, verum, pulchrum). Baik: menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral, Benar: menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahaun. Dan indah: menjadi gapaian estetika. Dalam pengalaman yang menghubungkan dengan sumbernya atau Yang INDAH, Yang Kudus ternyatalah bahwa manusia hanya mengalami “kehadiran” Yang Kudus, Yang INDAH itu dalam pengalaman “dunia kita”. Artinya bahwa pengalaman Borobudur yang dikatakan melampaui alam pikiran manusia entah itu bentuk, sejarah dan keunikannya menjadi tanda atau alamat, isyarat dari Yang Kudus, yang INDAH.
Nah, bagaimana syarat untuk bisa mengalami yang Kudus, Yang INDAH melalui dunia? Hal pertama: ciri eksisitensial dan mendalam dari pengalaman itu. Artinya, si aku sendiri yang mengalami dan yang melibatkan, itu mengenai eksistensi diri sebagai subjek. Mendalam berarti realitas atau dunia itu dialami sampai ke batas-batasnya. Hal Kedua, yakni ‘disclosure situation’: situasi yang membawa cakrawala ‘kesatuan utuh rentang sejarah dalam satu gerak keabadian. Misalnya pandangan ruang dan waktu dialami sebagai satu keutuhan perjalanan sejarah kosmos ini menuju keabadian. Dengan demikian kedua syarat di atas dapat menjadi pegangan bagi manusia dalam melintasi historisitas hidupnya.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar