Jumat, 11 Juni 2010

HERAKLEITOS DAN AJARAN-AJARANNYA

(oleh Ruben Basenti Moruk)

Pengantar

Pencarian akan sesuatu yang menarik dan menimbulkan banyak pertanyaan yang mendasar merupakan salah satu naluri yang paling mendalam. Naluri yang mendalam tersebut mendorong manusia untuk berfilsafat. Dengan berfilsafat manusia berusaha untuk mencari apa di balik segala sesuatu yang ada. Tentu, pada kondisi seperti ini manusia terdorong untuk berpikir kritis atas kejadian atau segala sesuatu dengan berbagai pandangan yang beragam. Sejak abad-abad Sebelum Masehi, manusia sudah memulai bertanya tentang segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan seberapa banyak pandangan-pandangan tentang segala sesuatu di dunia ini sejak zaman purba hingga zaman modern ini

Pada dasarnya, pandangan-pandangan para pemikir beranjak dari alam atau lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh para filsuf Yunani kuno. Mereka mendasarkan pemikiran ilmiah mereka pada alam seperti tanah, air, udara, api bahkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia angkasa. Berdasarkan dimensi-dimensi alam tersebut mereka berusaha menjawab persoalan atau problematika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang para filsuf memiliki pandangan yang selalu bertentangan. Hal ini perlu disadari sebagai sebuah keunikan yang ada dalam diri setiap orang dengan segala keterbatasan dan kelebihan.

Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai Herakleitos dan ajaran-ajarannya. Beberapa pemikiran yang kadang membuat manusia semakin bingung karena sangat sulit untuk mengerti maksudnya. Pada bagian pertama, penulis akan menceritakan tentang riwayat hidup Herakleitos. Setelah mengenal Herakleitos, penulis akan memaparkan tentang ajaran-ajarannya. Dan pada bagian akhir, penulis memberikan beberapa tanggapan atau komentar atas ajaran-ajaran Herakleitos.

Riwayat Hidup

Herakleitos lahir di kota Ephesus kira-kira tahun 540 SM dari sebuah keluarga bangsawan. Ia dikenal sebagai orang yang terlalu bangga akan keningratannya sehingga ia sangat suka meremehkan orang lain.

Dia diberi nama julukan “si gelap” (ho skotheinos). Dia mendapat julukan tersebut bukan karena warna kulitnya tetapi karakternya dan kesulitan orang untuk mengerti maksud pikirannya.[1] Tulisan-tulisan Herakleitos pun sulit dibaca dan terkesan enigmatis (sulit dipahami). Pada masa hidupnya, terjadi revolusi demokratis di kota kelahirannya, namun sejak awal dia menolak demokrasi dan melecehkannya sebagai bangkitnya kedangkalan massa. Sikap antidemokrasinya ini membuatnya selalu menolak keterlibatan politis dan suka mengasingkan diri dari orang banyak. Karena sikap eliternya ini dia juga dikenal sebagai seorang filsuf yang paling kesepian di sepanjang zaman kuno.[2] Herakleitos adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan dialektika (cara berpikir yang mengupayakan terjadi sitesis atau persatuan dari dua hal atau posisi yang saling berlawanan: tesis dan antitesis).di dalam sejarah filsafat Barat. Karena ia memperkenalkan ajaran tentang suatu totalitas melalui ketegangan-ketegangan dan antagonisme-antagonisme.

Sikapnya terhadap agama pada zamannya yakni agama Bacchis, sangatlah memusuhi, namun bukanlah permusuhan seorang rasionalis ilmiah. Ia menganggap agama ini tidak suci dan teologinya yang tidak jelas. Ia mempunyai agama sendiri dan menganggap agamanya paling suci. Ia pun disebut pengikut Bacchus (oleh Conford) dan dianggap sebagai penafsir agama-agama misteri (oleh Pfleiderer).[3]

Ajaran-ajarannya

Kontradisksi-kontradiksi dalam harmoni merupakan inti dari pemikiran Herakleitos. Dia meyakini bahwa tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan tetapi mempunyai kesatuan. Dengan lebih singkat: yang satu adalah yang banyak dan yang banyak adalah satu. Herakleitos berpendapat bahwa “perang adalah bapa semuanya dan raja semuanya”. Perang di sini adalah pertentangan. “Kita harus tahu bahwa perang berlaku bagi semuanya dan perselisihan adalah keadilan, dan bahwa segala sesuatu lahir dan sirna lewat perselisihan.”[4] Perang itu menceraikan tetapi sekaligus menciptakan sebuah kesatuan yang lebih mendalam dari pihak-pihak yang bertikai.

Pada dasarnya, kontradisksi pada Herakleitos tidak bersangkutan dengan alam, melainkan dengan bidang-bidang penghayatan subjektif manusia, misalnya: alam yang dihayati, pengalaman dengan tubuh sendiri, hubungan-hubungan sosial dan hubungan manusia dengan waktu. Dengan kata lain tema kontradiksi kosmologis Herakleitos lebih menekankan pada kontradiksi psikologis. Beberapa hal penting yang manjadi perhatian Herakleitos dalam ajarannya tentang kontradiksi adalah sesuatu dapat dihayati bila lawannya tampil ke depan. Misalnya, kesehatan baru dapat dinikmati setelah seseorang mengalami sakit, kita tidak akan berpikir tentang ‘kehidupan’ jika tidak mengenal ‘kematian’. Dan, hal-hal yang bertentangan justru memungkinkan keutuhan dunia, seperti: hidup dan mati, kenyang dan lapar, dan lain-lain.

Doktrin tentang segala sesuatu berubah terus-menerus atau segalanya menjadi (becoming) adalah pandangan Herakleitus yang paling terkenal, dan suatu ajaran yang paling ditekankan oleh pengikut-pengikutnya. Plato dan Aristoteles memberikan sebuah kesepakatan bersama tentang ajaran Herakleitos bahwa ”tak ada yang abadi, segala sesuatu senantiasa menjadi” (Plato), dan “tak ada yang tetap demikian” (Aristoteles).[5]Namun, ajarannya ini dikritik oleh Parmineides. Menurut Parmineides bahwa yang ada itu tidak ada dalam proses menjadi dan tidak berubah-ubah.[6]

Herakleitos membayangkan dua cara mengenai perubahan yang tiada henti-hentinya di dunia dan segala isinya. Cara-cara tersebut adalah ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan air sungai yang mengalir dan seluruh kenyataan adalah api. Air sungai itu terus mengalir dan diyakini bahwa air sungai senantiasa dibarui. Hal ini mau menekankan bahwa segalanya mengalir (panta rhei) dan berubah-ubah. Herakleitos meyakini api sebagai unsur purba yang darinya segala sesuatu tercipta, berbeda dengan Thales yang menganggap segala sesuatu tercipta dari air; Anaximenes berpendapat bahwa udaralah unsur primitifnya. Herakleitos memilih api karena api melambangkan perubahan itu sendiri. Nyala api yang memakan sesuatu yang baru senantiasa berubah menjadi abu dan asap. Namun, api itu tetap api yang sama. Oleh karena itu pandangannya tentang api sangat cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.

Dalam pandangannya tentang Logos, Herakleitos mengatakan bahwa logos berada di belakang segala proses menjadi itu yakni hukum dunia atau rasio semesta yang mengatur proses menjadi. Logos jugalah yang mempersatukan unsur-unsur yang bertentangan dengan segala sesuatu “dari segalanya menjadi satu, dan dari satu menjadi segalanya”. Ikhtiar untuk mengenal logos dan cirinya adalah kebijaksanaan.[7] Logos bersifat ilahi, tetapi tentu saja tidak boleh ditafsir sebagai Allah yang personal. Ada perkiraan yang mengatakan bahwa dia membayangkan logos sebagai sesuatu yang bersifat material. Alasan tentang perkiraan tersebut karena pada saat itu filsafat Yunani belum sanggup mengerti ‘yang rohani’ sebagai tak jasmani. Namun, perlu ditekankan bahwa ajarannya tentang logos melebihi sesuatu yang sifatnya material belaka.[8]

Herakleitos mempunyai anggapan yang luhur tentang jiwa manusiawi. Dalam pandangannya tentang manusia ia menaruh perhatian khusus pada kebatinan manusia dan jiwanya. Jiwa dianggap sebagai sesuatu yang sangat unik tetapi Herakleitos juga tetap membicarakan tentang jiwa dalam konteks kosmologis. Dia mengatakan bahwa kosmos selalu berubah: dari api menjadi air, lalu menjadi tanah dan sebaliknya dari tanah menjadi air, lalu menjadi api lagi.[9]

Tanggapan

Herakleitos adalah seorang filsuf yang memiliki pemikiran cemerlang meskipun banyak orang sulit untuk memahami dan mengerti maksud pemikirannya. Menurut hemat saya, Herakleitos memliki pemikiran yang sederhana tentang segala sesuatu yang berasal dari fenomena yang ada. Namun manusia seringkali mempersulit diri dengan hal-hal yang lebih kompleks. Misalnya, dengan memfokus pada hal-hal negatif yang muncul dari pemikirannya.

Berkaitan dengan ajarannya tentang kotradiksi dalam harmoni, kita pasti tidak menerima pandangan yang mengatakan bahwa sebuah keharmonisan dapat tercapai apabila sudah melalui pertentangan-pertentangan. Saya secara pribadi berpendapat bahwa pandangan kita tersebut seringkali belum melihat lebih mendalam tentang apa yang ada di balik pertentangan itu. Hal ini karena manusia seringkali memandang sesuatu yang buruk dan salah sebagai sesuatu yang negatif dan tidak ada nilai positifnya. Namun, perlu disadari bahwa suatu keharmonisan akan berakar dalam diri seseorang apabila ia sudah menyadari dan memaknai arti pertentangan itu sendiri sebagai jalan perastuan. Dengan demikian ia akan selalu mencari kesatuan dan keharmonisan itu.

Pandangan Herakleitos tentang segala sesuatu berubah dan mengalir (panta rhei), mau menyadarkan manusia akan eksistensinya sebagai makhluk pengembara di dunia ini atau bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak bersifat kekal.

Berdasarkan tanggapan saya terhadap ajaran-ajaran Herakleitos di atas, saya tidak bisa berasumsi bahwa Herakleitos adalah seorang relativis. Hal yang mendasarinya karena ia masih memiliki ajarannya tentang logos sebagai suatu tatanan yang menyatukan kotradiksi-kontradiksi, maka menyiratkan bahwa ia pada akhirnya bukan seorang relativis. Herakleitos mengakui bahwa logos berada di belakang segala proses “becoming” (menjadi) itu. Logos adalah hukum dunia atau rasio semesta yang mengatur proses menjadi.

Daftar Pustaka

Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Hardiman, F Budi, Filsafat Yunani Kuno, Manuskrip untuk Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta, 2005.

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (diterjemahankan oleh Sigit Jatmiko, dkk), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Tjahjadi, Simon Petrus Lili, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern”, Yogyakarta: Kanisius, 2004.



[1] Hardiman, Budi., “Filsafat Yunani Kuno”, Manuskrip untuk Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta, 2005, p. 24.

[2] Bertens, Kees., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 51.

[3] Russell, Bertrand., “Sejarah Filsafat Barat”(diterjemahan oleh Sigit Jadmiko, dkk), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, p. 57.

[4] Russell, Bertrand., “Sejarah Filsafat Barat” (diterjemahankan oleh Sigit Jatmiko, dkk), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, p. 58.

[5] Ibid., p. 59-60

[6] Bertens, Kees., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 59.

[7] Tjahjadi, Simon Petrus Lili., “Petualangan Inteketual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern”, Kanisius, Yogyakarta, 2004.

[8] Bertens, K., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 56.

[9] Lihat. Ibid., p. 57.