Minggu, 18 Juli 2010

ADAT PERKAWINAN PATRILINEAR SUKU TETUN – BELU UTARA – TIMOR - NTT - Indonesia

Catatan Awal
Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk hidup. Disiplin ilmu pengetahuan ini ditujukan kepada sifat-sifat khusus badani dan cara produksi, tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup yang lainnya. Masyarakat dibentuk oleh berkumpulnya individu-individu. Salah satu cara terbentuknya masyarakat adalah melalui perkawinan. Dalam tulisan ini saya mencoba menunjukkans secara khusus masyarakat Belu dalam kaitannya dengan perkawinan adat patrilineal.


BAB I
KABUPATEN BELU SELAYANG PANDANG

I. Keadaan Umum Kabupaten Belu
Letak kabupaten Belu sangat strategis, di samping berbatasan dengan negara baru Timor Lorosae juga berada pada jalur utama yang menghubungkan antara ibu kota propinsi NTT (Kupang) dengan ibukota Timor Lorosae (Dili). Kabupaten Belu terletak pada koordinat 1240-1260 BT dan 80-100 LS dengan batas wilayah sebagai berikut:
 Utara berbatasan dengan Selat Ombai,
 Selatan berbatasan dengan Laut Timor, Laut Australia
 Barat berbatasan dengan Kabupaten TTU dan TTS
 Timur berbatasan dengan Timor Lorosae.
Luas wilayah kabupaten Belu 2.445,57 km2 (5,16 % dari luas provinsi NTT). Secara admisnistrasi terbagi atas 8 kecamatan, 4 kecamatan pembantu, 89 desa, dan 12 kelurahan.
Ibukota kabupaten Belu adalah Atambua, sebuah kota terletak sekitar 500 meter dari permukaan laut. Suku yang mendiami wilayah ini terdiri atas
 Suku Tetun sebagai suku terbesar yang mendiami Belu Utara dan Belu Selatan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Tetun; bahasa ini juga yang digunakan oleh sebagian masyarakat di negara Timor Leste.
 Kelompok suku lain yang lebih kecil adalah Bunag atau Marae yang tinggal di kecamatan Lamaknen dan menyebar (tidak merata) di wilayah yang didiami suku Tetun. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Marae.
 Suku Kemak mendiami daerah perbatasan Lamaknen sampai ke pantai utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Kemak
 Suku Melus merupakan penduduk asli yang sedikit jumlahnya dan dianggap seolah-olah sebagai pendatang. Bahasa yang dugunakan adalah bahasa Melus.


II. Arti Istilah Belu dan Semboyan Masyarakat Belu
Istilah Belu dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman. Berdasarkan arti ini, maka persaudaraan sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama. Persaudaraan di antara orang-orang Belu menjadi landasan dalam mewujudkan cita-cita untuk membangun Rai Belu (tanah Belu).
Dalam kehidupan bersama, masyarakat Belu mengenal satu semboyan yaitu Husar binan tetuk no nesan. Semboyan ini merupakan cita-cita dan harapan masyarakat Belu dalam rangka mewujudkan Belu yang sejahtera, nyaman, aman, mempesona, dan bersahabat. Arti dari semboyan di atas adalah bahwa dengan semangat persaudaraan, masyarakat Belu membangun daerahnya menuju tercapainya kesejahteraan lahir batin yang serasi dan seimbang. Untuk sampai pada kesejahteraan lahir dan batin, dituntut suatu usaha keras dari semua elemen masyarakat di kabupaten Belu. Berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan semboyan di atas, ada satu ungkapan yang berbunyi, “Serwisu nu ata, ha nu Nain”, yang berarti bekerja seperti hamba, makan seperti raja.
BAB II
UPACARA ADAT PERKAWIANAN
KABUPATEN BELU

2. 1. Mengenal Perkawinan Kabupaten Belu khususnya Suku Tetun – Belu Utara
Ada tiga jenis perkawinan yang pada umumnya diharamkan oleh masyarakat Belu, baik pada masyarakat matrilineal maupun patrilineal antara lain sebagai berikut,
1. Feton oan, yaitu perkawinan antara saudara sekandung. Jika terjadi maka ungkapannya: asu matan at (anjing yang buta matanya).
2. Oan susun, yaitu perkawinan antar ayah dengan anak kandungnya. Jika terjadi pelanggaran tersebut, maka diistilahkan asu na nikar oan, manu nemu nikar tolun (anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya)
3. Oan no inan, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan ibunya. Jika terjadi pelanggaran, maka perbuatannya dikatan asu sae tetu, asu nador kaok (anjing menaiki loteng, mengotori sarang).
Apabila terjadi perkawinan incest maka akan dihukum dengan hukuman yang keras yaitu pria dan wanita dipaksa untuk mengisap usus babi (fahi ten), serta dikucilkan dari suku (lelen sai).
Perkawinan yang dibenarkan dalam adat perkawinan Belu, antara lain sebagai berikut,
1. Anak saudara dikawinkan dengan anak saudari (nan niti hein feto)..
2. Anak mengawini bekas istri pamannaya (oan nola nikar nian kii baki)
3. Paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (baba nola nikar nian uma nain uma ruin)
”Model perkawinan ini semakin ditinggalkan seiring dengan perkembangan zaman yang menganggap bahwa model perkawinan tersebut tidak baik.”
Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni sistem perkawinan patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah), dan sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu).
Sistem perkawinan yang akan dibahas dalam paper ini adalah sitem perkawinan Patrilineal.

2.2. Sistem Perkawinan Patrilineal
Bentuk perkawinan ini bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang agar bisa membeli putus istri. Hal ini berarti istri masuk dalam keluarga lelaki atau suami. Di sini terlihat bahwa kedudukan wanita sangat tinggi derajatnya karena wanita sesudah kawin dianggap sebagai uma nain atau wanita tuan rumah. Keunikan dari perkawinan patrilineal adalah membayar mahar kawin atau belis sebanyak 24 jenis dengan rincian meliputi uang perak, uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah. Berhubung martabat wanita begitu besar maka pihak keluarga atau klan penerima gadis harus bergotong royong untuk membeli putus gadis tersebut. Mahar kawin atau belis tersebut menjadi penentu derajat sang suami menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi.
Perkawinan patrilineal mempunyai beberapa akibat yaitu sebagai berikut:
1. Istri menerima suku suami dan dihormati sebagai wanita utama dalam suku deu gomo dan suaminya momen mone (lelaki tua)
2. Sang suami mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya.
3. Anak-anak masuk anggota suku ayah.
4. Hubungan malu ai bersifat abadi
5. Poligami tidak diizinkan, demikian pula tidak ada perceraian
6. Berzinah dihukum dengan potong kepala

2.3. Tahap Sistem Perkawinan Patrilineal Daerah Belu
Adapun tahap-tahap yang harus dilewati oleh seorang pemuda dan seorang pemudi menjelang upacara perkawinan adalah sebagai berikut :
 Ba’boe (Masa Pacaran) merupakan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Membuka diri untuk menerima segala masukan sebagai persiapan dalam memasuki masa yang akan datang.

 Lolo leten (Tahap pengenalan secara akrab)
Pada tahap ini, pihak keluarga dari kedua insan pun dilibatkan karena ditahap ini, pasangan muda-mudi akan memutuskan sebuah kesepakatan penting dalam rangka perkawinan nanti. Perlengkapan yang harus disiapkan oleh si pria pada tahap ini adalah fuik (sirih) dan bu’a (pinang). Acara ini dilakukan hanya pada malam hari. Caranya ialah si pria harus ke rumah si gadis dan menyodorkan sirih pinang yang dibawanya melalui pintu depan rumah bagian atas dalam keadaan terkunci. Keduanya hanya boleh berkomunikasi tanpa bertatapan langsung antara mata dengan mata.
 Labu feto (Pelamaran)
Setelah mencapai kata sepakat bahwa kedua pihak setuju untuk melangsungkan perkawinan, maka tahap berikutnya ialah si pria harus melamar si gadis dengan resmi. Tahap ini dilakukan dengan cara, yaitu dengan aikalete (jembatan) dan tanpa aikalete. Aikalete bertugas sebagai penghubung antara kedua belah pihak. Perlengkapan yang harus dibawa adalah berupa sirih-pinang dan terkadang dibawa pula emas (kalung, anting, gelang dsb).
 Tara horak (Tukar cincin)
Tahap ini dikenal dengan fuik tahak-bua tahak atau fuik husu-bua husu, yaitu persiapan meminang. Peminangan itu sendiri dapat berakhir dengan tara horak (tukar cincin). Sang pemuda dan keluarga membawa siri pinang, uang perak, cincin emas satu pasang, dan benang sesuai adat kebiasaan, sedangkan keluarga perempuan menyiapkan kain sarung adat dan lain sebagainya.
 Tahap pertunangan (Jodoh)
Pada tahap ini, si pria dan si gadis tidak diperkenankan untuk berpacaran dengan pasangan lain sebab keduanya telah diikat dengan cinta sejati yang akan disatukan pada puncak perkawinan nanti. Bahkan lebih dari itu, si gadis akan dikurung untuk tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat persetujuan khusus dari orang tua.
 Ha lia (puncak perkawinan = pesta adat meriah)
Puncak dari semua tahap yang dilewati berakhir dengan upacara perkawinan (pesta adat meriah) di rumah si gadis. Keluarga dari kedua pihak akan hadir semuanya untuk menyaksikan awal kehidupan keluarga baru ini dengan memberikan saran dan pengetahuan tertentu yang dikenal dengan istilah sadan umakain. Tua-tua adat dari kedua belah pihak akan berkumpul di suatu labis (tempat duduk) untuk memberikan nasihat kepada pengantin baru yang akan memulai hidup baru. Nasihat-nasihat itu menjadi bekal dan modal utama dalam mengarungi bahtera hidup.
 Tahap pemindahan wanita ke keluarga laki-laki.
Pada tahap ini keluarga lelaki datang menjemput mempelai wanita. Biasanya ada pihak keluarga wanita yang ikut mengantar ke rumah lelaki.

2.4. Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu
Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu digolongkan menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
1. maksud dan tujuan tahap adat perkawinan di suku Marae dan suku Kemak di Belu Utara adalah:
a) perkawinan patrilineal merupakan perkawinan yang dikenal di Belu Utara yang bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang supaya dapat membeli putus istri. Dengan demikian istri dimasukan dalam klan suami.
b) Mempererat hubungan antara klan pemberi wanita dan klan penerima wanita.
c) Untuk mendapat keturunan yang akan menjadi ahli waris dalam keluarga lelaki.
d) Agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dipertahankan keberadaannya.
e) Agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku
f) Setiap tahapan adat perkawinan yang luhur itu dihargai dan dihormati secara turun-temurun.

2. Maksud dan tujuan tahapan perkawinan adat suku Tetun dan Buna di Malaka (Belu Selatan), yaitu sebagai berikut
a) agar setiap pemuda yang hendak kawin dapat membayar mahar kawin atau belis sesuai ketentuan adat (khusus untuk suku Buna)
b) agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dapat dipertahankan secara turun-temurun
c) agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku
d) agar perkawinan itu berdampak positif dan dihargai oleh masyarakat
e) sebagai ungkapan resmi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali kedua belah pihak itu sendiri.

2.4. Peralatan, Perlengkapan, Aturan dan Tata Tertib
1. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal yaitu sebagai berikut: mahar kawin sebanyak 24 jenis dengan perincian:
a) uang perak
b) uang emas
c) selimut tenun ikat dan sulam
d) alat-alat mainan bahkan sampai kebun
e) hamba bagi golongan atas
Jenis mahar kawin tersebut adalah: a) Sigal saen hotel nor sigal saen, membayar uang tunangan; b) Borapit Jewen, membentang tikar untuk tamu yang datang; c) tagu turing, memelihara istri atau memberi makan; d) bei gotin, mohon doa restu leluhur; e) mapo tesi watan lotung, membayar kelelahan ayah; f) Bokan no Nalas, membayar kelelahan ibu; g) Gubul o Geweel, ganti rugi si gadis; h) sumamal, su soat, pemeliharaan gadis dari kecil sampai besar; i) lor wa lor wul, perpisahan dengan suku atau marga; j) tajung lor, tajung hoto, perpisahan rumah suku; k) Sul o Suliq, perpisahan dengan senjata keramat; l) Loq masak, Loeq gol, perpisahan dengan kebun rumah; m) Tel Wese, perpisahan dengan kuburan suku; n) Saki o jig, penegasan asal suku; o) Opel Ganal, penanggalan anggota suku; p) Pirag noq Topol, pengumuman kepada suku; q) sae ope, mambayar daging santapan bersama; r) peg naran peg tiluq, kedudukan dalam masyarakat; s) depal gei naran, depal gei tilug; t) sawe sepak; u) Kira Bian, sebagai penghargaan terhadap wanita dalam masyarakat; v) Jan neka, cie nokar, membayar hewan pengawal; w) Palu pae goloq, membayar kebun yang dipetik; x) Opa tutul gie rine pin gie, hamba untuk membantu.
2. Aturan dan tata tertib yang perlu ditaati dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal adalah sebagai berikut:
a) hendaknya setiap lelaki yang ingin kawin harus membayar mahar kawin sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku,
b) menikah tidak boleh lebih dari satu suami atau istri
c) perkawinan tidak dapat dilakukan jika keduanya berhubungan darah langsung,
d) poligami tidak diperkenankan setelah hidup bersama,
e) tidak boleh terjadi perzinahan, sebab bila terjadi hukumannya dalah potong kepala.

Penutup
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami, ternyata benar bahwa manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara dialektis. Kebudayaan merupakan unsur konstitutif dari esensi manusia. Kebudayaan adalah hasil usaha manusia yang membantu manusia dalam berinteraksi. Dengan kata lain, segala tingkah laku manusia dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan memberi kepada manusia suatu struktur yang kuat.

GOD LOVES ALL HIS CREATION (A reflection of John 3:13-17)

The important thing for us from the Gospel reading is about how Jesus wants to show the goodness of God. God is a loving father, the source of all goodness, because the love of God surpasses everything. He doesn’t hesitate to send His beloved Son. In the world His Beloved Son must suffer until passes away on the cross. What is the meaning of this event? Does God want to persecute and kill His Beloved Son? The mystery of faith has exposed in a humble happening. God is Love. He loves all of His creation, so that the answer the question “Why He does send His Beloved Son?” is that God doesn’t like that His Creations has a disorientated life. Jesus comes to become the mediator to God. “3:13. and no one has ever gone up to heaven except the Son of Man, who came down from heaven." God, who is love, becomes the central of our life’s orientation.
In our daily life, we find many negative experiences. Sometimes such experiences tempt us to question about God’s existence that God is love. Why humanity must face many sufferings, warfare, persecution, poverty and so on? Are God’s eyes closed, so He doesn’t see the reality of His creation? To use the words of Nergotte (A religion psychologist): sufferings and crime are the best reason of faith skepticism and insurrection of human to God. Is it the best reason? The first reading shows the insurrection of the God’s people. “The people of Israel became so impatient, that they complained against God and said to Moses, "Did you bring us out of Egypt, just to let us die in the desert? There's no water out here, and we can't stand this awful food.” So what is the will of God in such problems?
In fact, the mystery of the cross is the best answer for us. Mystery of the cross is an illustration for our life. In our sufferings, God will always be with us. He gives the power and divine hope to strengthen our faith. We must therefore be happy if we suffer because we alert to take part in the suffering of Jesus Christ. E.g., in the history of Christianity, the martyrs did not like to be freed from sufferings but they just hoped to get divine courage and divine power to change the suffering into the source of life.
That is why; the cross is a sign of victory whereby we find the true happiness. Put your hope in God when your sufferings are so complex because He is God of Love, so He will give the salvation for our life.

Jumat, 11 Juni 2010

HERAKLEITOS DAN AJARAN-AJARANNYA

(oleh Ruben Basenti Moruk)

Pengantar

Pencarian akan sesuatu yang menarik dan menimbulkan banyak pertanyaan yang mendasar merupakan salah satu naluri yang paling mendalam. Naluri yang mendalam tersebut mendorong manusia untuk berfilsafat. Dengan berfilsafat manusia berusaha untuk mencari apa di balik segala sesuatu yang ada. Tentu, pada kondisi seperti ini manusia terdorong untuk berpikir kritis atas kejadian atau segala sesuatu dengan berbagai pandangan yang beragam. Sejak abad-abad Sebelum Masehi, manusia sudah memulai bertanya tentang segala sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan seberapa banyak pandangan-pandangan tentang segala sesuatu di dunia ini sejak zaman purba hingga zaman modern ini

Pada dasarnya, pandangan-pandangan para pemikir beranjak dari alam atau lingkungan sekitarnya. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh para filsuf Yunani kuno. Mereka mendasarkan pemikiran ilmiah mereka pada alam seperti tanah, air, udara, api bahkan hal-hal yang berkaitan dengan dunia angkasa. Berdasarkan dimensi-dimensi alam tersebut mereka berusaha menjawab persoalan atau problematika yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang para filsuf memiliki pandangan yang selalu bertentangan. Hal ini perlu disadari sebagai sebuah keunikan yang ada dalam diri setiap orang dengan segala keterbatasan dan kelebihan.

Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai Herakleitos dan ajaran-ajarannya. Beberapa pemikiran yang kadang membuat manusia semakin bingung karena sangat sulit untuk mengerti maksudnya. Pada bagian pertama, penulis akan menceritakan tentang riwayat hidup Herakleitos. Setelah mengenal Herakleitos, penulis akan memaparkan tentang ajaran-ajarannya. Dan pada bagian akhir, penulis memberikan beberapa tanggapan atau komentar atas ajaran-ajaran Herakleitos.

Riwayat Hidup

Herakleitos lahir di kota Ephesus kira-kira tahun 540 SM dari sebuah keluarga bangsawan. Ia dikenal sebagai orang yang terlalu bangga akan keningratannya sehingga ia sangat suka meremehkan orang lain.

Dia diberi nama julukan “si gelap” (ho skotheinos). Dia mendapat julukan tersebut bukan karena warna kulitnya tetapi karakternya dan kesulitan orang untuk mengerti maksud pikirannya.[1] Tulisan-tulisan Herakleitos pun sulit dibaca dan terkesan enigmatis (sulit dipahami). Pada masa hidupnya, terjadi revolusi demokratis di kota kelahirannya, namun sejak awal dia menolak demokrasi dan melecehkannya sebagai bangkitnya kedangkalan massa. Sikap antidemokrasinya ini membuatnya selalu menolak keterlibatan politis dan suka mengasingkan diri dari orang banyak. Karena sikap eliternya ini dia juga dikenal sebagai seorang filsuf yang paling kesepian di sepanjang zaman kuno.[2] Herakleitos adalah orang yang pertama kalinya memperkenalkan dialektika (cara berpikir yang mengupayakan terjadi sitesis atau persatuan dari dua hal atau posisi yang saling berlawanan: tesis dan antitesis).di dalam sejarah filsafat Barat. Karena ia memperkenalkan ajaran tentang suatu totalitas melalui ketegangan-ketegangan dan antagonisme-antagonisme.

Sikapnya terhadap agama pada zamannya yakni agama Bacchis, sangatlah memusuhi, namun bukanlah permusuhan seorang rasionalis ilmiah. Ia menganggap agama ini tidak suci dan teologinya yang tidak jelas. Ia mempunyai agama sendiri dan menganggap agamanya paling suci. Ia pun disebut pengikut Bacchus (oleh Conford) dan dianggap sebagai penafsir agama-agama misteri (oleh Pfleiderer).[3]

Ajaran-ajarannya

Kontradisksi-kontradiksi dalam harmoni merupakan inti dari pemikiran Herakleitos. Dia meyakini bahwa tiap-tiap benda terdiri dari hal-hal yang saling berlawanan tetapi mempunyai kesatuan. Dengan lebih singkat: yang satu adalah yang banyak dan yang banyak adalah satu. Herakleitos berpendapat bahwa “perang adalah bapa semuanya dan raja semuanya”. Perang di sini adalah pertentangan. “Kita harus tahu bahwa perang berlaku bagi semuanya dan perselisihan adalah keadilan, dan bahwa segala sesuatu lahir dan sirna lewat perselisihan.”[4] Perang itu menceraikan tetapi sekaligus menciptakan sebuah kesatuan yang lebih mendalam dari pihak-pihak yang bertikai.

Pada dasarnya, kontradisksi pada Herakleitos tidak bersangkutan dengan alam, melainkan dengan bidang-bidang penghayatan subjektif manusia, misalnya: alam yang dihayati, pengalaman dengan tubuh sendiri, hubungan-hubungan sosial dan hubungan manusia dengan waktu. Dengan kata lain tema kontradiksi kosmologis Herakleitos lebih menekankan pada kontradiksi psikologis. Beberapa hal penting yang manjadi perhatian Herakleitos dalam ajarannya tentang kontradiksi adalah sesuatu dapat dihayati bila lawannya tampil ke depan. Misalnya, kesehatan baru dapat dinikmati setelah seseorang mengalami sakit, kita tidak akan berpikir tentang ‘kehidupan’ jika tidak mengenal ‘kematian’. Dan, hal-hal yang bertentangan justru memungkinkan keutuhan dunia, seperti: hidup dan mati, kenyang dan lapar, dan lain-lain.

Doktrin tentang segala sesuatu berubah terus-menerus atau segalanya menjadi (becoming) adalah pandangan Herakleitus yang paling terkenal, dan suatu ajaran yang paling ditekankan oleh pengikut-pengikutnya. Plato dan Aristoteles memberikan sebuah kesepakatan bersama tentang ajaran Herakleitos bahwa ”tak ada yang abadi, segala sesuatu senantiasa menjadi” (Plato), dan “tak ada yang tetap demikian” (Aristoteles).[5]Namun, ajarannya ini dikritik oleh Parmineides. Menurut Parmineides bahwa yang ada itu tidak ada dalam proses menjadi dan tidak berubah-ubah.[6]

Herakleitos membayangkan dua cara mengenai perubahan yang tiada henti-hentinya di dunia dan segala isinya. Cara-cara tersebut adalah ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan air sungai yang mengalir dan seluruh kenyataan adalah api. Air sungai itu terus mengalir dan diyakini bahwa air sungai senantiasa dibarui. Hal ini mau menekankan bahwa segalanya mengalir (panta rhei) dan berubah-ubah. Herakleitos meyakini api sebagai unsur purba yang darinya segala sesuatu tercipta, berbeda dengan Thales yang menganggap segala sesuatu tercipta dari air; Anaximenes berpendapat bahwa udaralah unsur primitifnya. Herakleitos memilih api karena api melambangkan perubahan itu sendiri. Nyala api yang memakan sesuatu yang baru senantiasa berubah menjadi abu dan asap. Namun, api itu tetap api yang sama. Oleh karena itu pandangannya tentang api sangat cocok untuk melambangkan kesatuan dalam perubahan.

Dalam pandangannya tentang Logos, Herakleitos mengatakan bahwa logos berada di belakang segala proses menjadi itu yakni hukum dunia atau rasio semesta yang mengatur proses menjadi. Logos jugalah yang mempersatukan unsur-unsur yang bertentangan dengan segala sesuatu “dari segalanya menjadi satu, dan dari satu menjadi segalanya”. Ikhtiar untuk mengenal logos dan cirinya adalah kebijaksanaan.[7] Logos bersifat ilahi, tetapi tentu saja tidak boleh ditafsir sebagai Allah yang personal. Ada perkiraan yang mengatakan bahwa dia membayangkan logos sebagai sesuatu yang bersifat material. Alasan tentang perkiraan tersebut karena pada saat itu filsafat Yunani belum sanggup mengerti ‘yang rohani’ sebagai tak jasmani. Namun, perlu ditekankan bahwa ajarannya tentang logos melebihi sesuatu yang sifatnya material belaka.[8]

Herakleitos mempunyai anggapan yang luhur tentang jiwa manusiawi. Dalam pandangannya tentang manusia ia menaruh perhatian khusus pada kebatinan manusia dan jiwanya. Jiwa dianggap sebagai sesuatu yang sangat unik tetapi Herakleitos juga tetap membicarakan tentang jiwa dalam konteks kosmologis. Dia mengatakan bahwa kosmos selalu berubah: dari api menjadi air, lalu menjadi tanah dan sebaliknya dari tanah menjadi air, lalu menjadi api lagi.[9]

Tanggapan

Herakleitos adalah seorang filsuf yang memiliki pemikiran cemerlang meskipun banyak orang sulit untuk memahami dan mengerti maksud pemikirannya. Menurut hemat saya, Herakleitos memliki pemikiran yang sederhana tentang segala sesuatu yang berasal dari fenomena yang ada. Namun manusia seringkali mempersulit diri dengan hal-hal yang lebih kompleks. Misalnya, dengan memfokus pada hal-hal negatif yang muncul dari pemikirannya.

Berkaitan dengan ajarannya tentang kotradiksi dalam harmoni, kita pasti tidak menerima pandangan yang mengatakan bahwa sebuah keharmonisan dapat tercapai apabila sudah melalui pertentangan-pertentangan. Saya secara pribadi berpendapat bahwa pandangan kita tersebut seringkali belum melihat lebih mendalam tentang apa yang ada di balik pertentangan itu. Hal ini karena manusia seringkali memandang sesuatu yang buruk dan salah sebagai sesuatu yang negatif dan tidak ada nilai positifnya. Namun, perlu disadari bahwa suatu keharmonisan akan berakar dalam diri seseorang apabila ia sudah menyadari dan memaknai arti pertentangan itu sendiri sebagai jalan perastuan. Dengan demikian ia akan selalu mencari kesatuan dan keharmonisan itu.

Pandangan Herakleitos tentang segala sesuatu berubah dan mengalir (panta rhei), mau menyadarkan manusia akan eksistensinya sebagai makhluk pengembara di dunia ini atau bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak bersifat kekal.

Berdasarkan tanggapan saya terhadap ajaran-ajaran Herakleitos di atas, saya tidak bisa berasumsi bahwa Herakleitos adalah seorang relativis. Hal yang mendasarinya karena ia masih memiliki ajarannya tentang logos sebagai suatu tatanan yang menyatukan kotradiksi-kontradiksi, maka menyiratkan bahwa ia pada akhirnya bukan seorang relativis. Herakleitos mengakui bahwa logos berada di belakang segala proses “becoming” (menjadi) itu. Logos adalah hukum dunia atau rasio semesta yang mengatur proses menjadi.

Daftar Pustaka

Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Hardiman, F Budi, Filsafat Yunani Kuno, Manuskrip untuk Mahasiswa STF Driyarkara-Jakarta, 2005.

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (diterjemahankan oleh Sigit Jatmiko, dkk), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Tjahjadi, Simon Petrus Lili, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern”, Yogyakarta: Kanisius, 2004.



[1] Hardiman, Budi., “Filsafat Yunani Kuno”, Manuskrip untuk Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta, 2005, p. 24.

[2] Bertens, Kees., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 51.

[3] Russell, Bertrand., “Sejarah Filsafat Barat”(diterjemahan oleh Sigit Jadmiko, dkk), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, p. 57.

[4] Russell, Bertrand., “Sejarah Filsafat Barat” (diterjemahankan oleh Sigit Jatmiko, dkk), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, p. 58.

[5] Ibid., p. 59-60

[6] Bertens, Kees., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 59.

[7] Tjahjadi, Simon Petrus Lili., “Petualangan Inteketual: Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern”, Kanisius, Yogyakarta, 2004.

[8] Bertens, K., “Sejarah Filsafat Yunani”, Kanisius, Yogyakarta, 1999, p. 56.

[9] Lihat. Ibid., p. 57.