Jumat, 25 Maret 2011





PENGALAMAN BOROBUDUR:
SEBUAH PENGALAMAN ESTETIS
(Ruben Basenti Moruk, OFM)


Pengantar
Pengalaman merupakan sebuah sejarah hidup yang tak mungkin terulang lagi. Karena waktu sekarang akan segera berlalu dan berubah menjadi waktu lampau. Oleh karena itu, setiap pengalaman memiliki kekhasan dan keunikannya masing-masing. Tidak salah juga, bila kita mengatakan pengalaman adalah guru yang terbaik dalam hidup bila pengalaman tersebut memberikan makna bagi perjalanan hidup manusia.
Berkaitan dengan pengalaman, penulis mengalami sebuah pengalaman yang tak akan dilupakan yakni pengalaman Borobudur. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan secara mendalam mengupas tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Candi Borobudur. Pengalaman ini merupakan sebuah pengalaman estetis yang mempunyai maknanya tersendiri.

Pengalaman Borobudur
Mentari memancarkan keelokkannya di ufuk timur. Angin pun tak kalah mengekspresikan keunggulannya dengan membelai setiap makhluk ciptaan sang Maha Kuasa. Sejauh mata memandang terpampang sebuah keindahan alam yang mempesona. Kawasan yang dikelilingi oleh pegunungan ini menampilkan estetika yang perlu ditatap sebelum melanjutkan perjalanan. Tak ketinggalan pula keramahan penduduk yang berada di sekitar tempat tersebut menyapa setiap pengunjung yang datang. Pepohonan rindang mengelilingi lokasi tersebut sehingga menghalangi pandangan mata yang tertuju kepada “susunan batu-batu” yang menjadi tujuan perjalanan. Penasaran dan rasa ingin tahu untuk melihat salah satu keajaiban dunia tersebut –Candi Borobudur – sangat kuat.
Setelah membereskan segala urusan administrasi di gerbang pintu masuk, rombongan kami pun memasuki area Candi Borobudur. Candi yang berada di ketinggian di atas bukit membuat pengunjung harus berjalan kaki mendaki bukit tersebut. Ternyata dalam perjalanan beberapa meter dari gerbang pintu masuk “susunan batu-batu” tersebut bisa dilihat. Tak ada perasaan kagum dan takzim yang terusik di dalam hati, kok cuma seperti ini, keajaiban dunia tersebut! Namun, langkah terus terayun menuju tempat yang ‘kok cuma seperti ini’ tersebut.
Tak disangka-sangka pandangan yang lebih dekat tidak bisa membohongi perasaan seorang anak manusia. Hilanglah semua perasaan yang menganggap tidak ada apa-apanya. Candi yang tingginya 35,29 m ini dengan arsitektur yang unik dan klasik terus mengusik perasaan kagum, takjub dan takzim. Teriknya matahari yang berada di atas puncaknya walaupun tidak sebanding dengan panasnya kota Jakarta, tidak bisa menghapus gelora di hati yang hanya bisa diam seribu bahasa. “Candi Borobudur, engkau indah, agung, dan unik”, itulah ungkapan yang cocok dan hanya bisa diungkapkan dalam hati.
Langkah demi langkah berayun menuju puncak candi kuno peninggalan agama Budha ini. Bebatuan andesit yang tertata rapi, patung-patung yang menempati posisinya masing-masing dengan maknanya tersendiri. Tak disadari bahwa dengan hanya melihat dan mengagumi sambil berjalan mengelilingi candi tersebut, sebuah penghormatan yang telah dilakukan kepada roh-roh baik menurut agama Budha yakni Pradiksina. Di satu sisi, pengalaman ini adalah sebuah perajalanan rekreasi tetapi pengalaman religius lebih penting ketika menyadari bahwa Candi borobudur dibangun sebagai tempat bersemadi atau untuk mengheningkan cipta.


Pengalaman Estetis
Pengalaman estetis adalah sebauh pengalaman subjektif berdasarkan pengamatan inderawi dengan seluruh komponen jiwa raganya dan kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Estetika harus berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus dan istimewa. Tentu saja sebuah pengalaman pribadi adalah pengalaman yang dirasakan oleh seorang pribadi; orang hanya bisa tahu apa itu rasa keindahan bila pernah mengalaminya sendiri dan bukan karena diceritakan atau diberitahukan. Hal yang bisa dikatakan bahwa manusia memiliki sikap estetis terhadap sebuah pengalaman adalah sikap praktis (banyak pertanyaan yang muncul), usaha untuk mengambil maknanya, sikap ingin tahu, usaha untuk menerapkan apa yang dialami dan diamati dalam kepentingan pribadi (hal yang religius).
Pengalaman Borobudur merupakan sebuah pengalaman estetis, karena sebauh fenomena yang mengenali wujud bermakna dari candi Borobudur dengan getaran dan rangsangan keindahan. Prof. Dr. Mudji Sutrisno, dalam bukunya tentang Filsafat Keindahan menulis demikian “tidak cukuplah hanya mempunyai rangsangan atau getaran keindahan. Tidak cukup pula kalau cuma mengenali bentuk atau wujud bermakna. Keduanya harus terjadi berbarengan (serentak) serta saling mengisi secara pas.”
Suatu kebiasaan yang sering dilakukan oleh pengunjung di Candi Borobudur, mereka hanya memegang, meraba stupa-stupa yang ada, kemudian memasukkan tangannya ke dalam stupa yang berlubang dengan maksud akan mempeolah keuntungan bila memegang bagian tertentu dari patung tersebut. Dan lebih ironis lagi sering memanjat-manjat arca-arca suci tersebut untuk berfoto ria atau berpose dengan berbagai mode. Hal ini mau menunjukkan bahwa kekaguman dan keterkesanan hanya pada level bentuk candi saja. Karena ketergesaan akan bentuk yang memukau tersebut, kesempatan untuk mengalami getarannya (estetisnya) tidak mendapat perhatian. Seseorang dikatakan mengalami getaran bila timbul kesadaran untuk berusaha atau berniat untuk mempelajarinya.
Beberapa alasan yang akan dikemukakan untuk mempelajari sebuah pengalaman, tetapi batasan utama yang disoroti adalah berdasarkan pandangan G. E. More yang menegaskan bahwa mempelajari atau berkontemplasi penuh pada keindahan itu merupakan salah satu nilai masyarakat berbudaya, di mana manusia menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang menjadi panutan dalam hidupnya. Selain itu, pengalaman keindahannya itu begitu berharga dan bernilai pada dirinya sehingga membutuhkan pengujian dan penelitian mengenai kualitas dari objek yang dilihat.

Pengalaman Estetis dalam Perkembangan Filsafat
Para filsuf Yunani Kuno menekankan pada subjekstivitas dari pengalaman estetis tersebut. Aristoteles dan Plato menyoroti bagaimana pengaruh pengalaman keindahan itu pada watak si subjek dan dari dia bagaimana tersalur pengaruh ke masayarakat. Aristoteles pernah mengungkapkan bahwa seni berperan sebagai katarsis: membersihkan kembali jiwa manusia yang mengalami keindahan. Plato mengemukakan pendapatnya bahwa pengalaman estetis dipandang lebih rendah dari hasil seni alam (natural objects) karena pengalaman keindahan itu hanyalah reaksi imitasi pada benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH yang sejati: wujud tertinggi).
Dalam filsafat Medieval, pegalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu yang indah dan seni dipandang sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya untuk manusia. Pengalaman estetis amat berkaitan erat dengan penglaman religius. Konsep indah yang dialami dimaksudakan dalam dua kata kunci: pertama sebagai” yang terang, yang benderang jernih’ dan yang kedua: sebagai “yang memukau”.
Zaman modern memiliki paradigma yang sama sekali berbeda. Pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang memberi kepuasan, berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap kesadaran rasa tertentu.

Refleksi Filosofis mengenai keindahan Borobudur
Ada dua hal pendalaman filsafati yang mau ditekankan berkaiatan pengalaman estetis Borobudur; pertama; pengalaman estetis ini sangat berkaitan dengan soal perasaan. Perasaaan yang sering kali sangat sulit untuk dikemukakan atau diungkapkan. Kekaguman akan keindahan Borobudur dapat memberikan sebuah ketenangan dan ketenteraman hati. Kedua, ada sebuah relasi antara yang indah dalam huruf kecil dan indah dalam huruf besar (INDAH). Pengalaman akan keindahan berhubungan dengan Sang Sumber Keindahan. Fenomena ini malah menunjuk kesejajaran antar pengalaman estetika dengan pengalaman akan Yang Ilahi.
Pengalaman Borobudur memberikan refleksi tentang Sang Ada itu sekaligus baik, benar, dan indah (Ens est bonum, verum, pulchrum). Baik: menjadi dambaan yang mau diraih oleh moral, Benar: menjadi cita-cita yang mau dicapai oleh pengetahaun. Dan indah: menjadi gapaian estetika. Dalam pengalaman yang menghubungkan dengan sumbernya atau Yang INDAH, Yang Kudus ternyatalah bahwa manusia hanya mengalami “kehadiran” Yang Kudus, Yang INDAH itu dalam pengalaman “dunia kita”. Artinya bahwa pengalaman Borobudur yang dikatakan melampaui alam pikiran manusia entah itu bentuk, sejarah dan keunikannya menjadi tanda atau alamat, isyarat dari Yang Kudus, yang INDAH.
Nah, bagaimana syarat untuk bisa mengalami yang Kudus, Yang INDAH melalui dunia? Hal pertama: ciri eksisitensial dan mendalam dari pengalaman itu. Artinya, si aku sendiri yang mengalami dan yang melibatkan, itu mengenai eksistensi diri sebagai subjek. Mendalam berarti realitas atau dunia itu dialami sampai ke batas-batasnya. Hal Kedua, yakni ‘disclosure situation’: situasi yang membawa cakrawala ‘kesatuan utuh rentang sejarah dalam satu gerak keabadian. Misalnya pandangan ruang dan waktu dialami sebagai satu keutuhan perjalanan sejarah kosmos ini menuju keabadian. Dengan demikian kedua syarat di atas dapat menjadi pegangan bagi manusia dalam melintasi historisitas hidupnya.*****

Rabu, 16 Maret 2011

PENGARUH HOLOCAUST BAGI FILSAFAT EMMANUEL LEVINAS

1. Pengantar

Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis dan yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945. Peristiwa pemabantaian ini disebut dengan istilah genocide: pembantaian, kekejaman, dan kekerasan yang dilakukan pada sekelompok orang karena identitas etnis, rasa dan lebih dari jutaan orang Yahudi yang terbunuh pada saat itu kamp-kamp konsentrasi dan ladang-ladang pembantaian. Nama Holocaust berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam Alkitab yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan artikel ini, “Holocaust adalah penganiayaan dan pemusnahan orang Eropa keturunan Yahudi.
Levinas adalah seorang Yahudi yang hidup di episentrum politik Eropa, dan pernah menjadi saksi hidup holocaust. Peristiwa ini ternyata menjadi salah satu titik tolak pemikiran Levinas. Karena itu orang sulit untuk membedakan karya-karyanya sebagai sebuah karya filosofis atau religios. Cara pemikiran Filsafat Levinas berdasarkan tiga latar belakang kehidupannya pada waktu itu. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah pengaruh agama Yahudi, pemikiran filosofis barat dan fenomenologis. Di sini kita menemukan pemikiran-pemikiran murni dari Levinas. Seperti tadi disebutkan, pengaruh filosofi barat, bertemu fenomenologi, dan khususnya, sebagai seorang Yahudi yang taat, di mana Levinas sangat menghayati kepercayaannya.
Dalam hal mendalami teologi Yahudi, bagi Levinas bukan sesuatu yang asing mengingat sejak kecil orangtuanya mengajarkan bahasa Ibrani dan Rusia kepadanya yang saat itu masih tinggal di Lithuania dengan harapan memperoleh masa depan yang lebih baik. Selain giat mempelajari Talmud dan bacaan-bacaan Yahudi lain, secara khusus Levinas juga sangat terkesan terhadap dua pemikir agama Yahudi: Martin Buber dan Franz Rosenzweig, dua tokoh pembaharu dalam Yudaisme.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan pemikiran-pemikiran Levinas yang dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai orang Yahudi yang mengalami peristiwa holocaust. Ternyata sebagian besar pemikiran Levinas memiliki pengaruh ini terutama dalam karyanya yang terbesar tentang Totality and Infinity dan pemikirannya tentang etikanya.

II. Pokok-Pokok Pemikiran Levinas

1. 1934: Refleksi terhadap aliran Filsafat Hitler
Levinas menunjukkan juga refleksinya yang berkaitan dengan ontologi, seperti yang juga dikatakan oleh Heidegger bahwa esensi sebagai subjek idealisme transendental, bahwa siapa saja ingin bebas. Bagi Levinas, universalisme Yahudi dan Kristianitas dengan partikularitas ras, bahasa mengungkapkan sebuah analisis eksistensialis.
Analisis Levinas tentang tubuh menjauhkan dia dari orang-orang sesamannya (Merleau-Ponty)– “tubuh yang dihidupi” yang mana menurut Ponty “saya tidak memiliki lebih dari yang saya dimilikinya, dan bahwa saya lebih sekadar mempunyai”. Hal berkaitan dengan “tubuh” juga ditekankan oleh Gabriel Marcel dengan tema “Tubuh sebagai Tubuhku”. Salah satu bagian penting yang diungkapkan dalam tema ini adalah “tubuhku adalah tubuhku”; tubuh memungkinkan untuk mempunyai tetapi tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Karena tubuh bukanlah alat begitu saja dan juga bukanlah suatu objek yang dapat dihadapkan dengan diriku sebagai subjek tetapi bahwa tubuh :adalah alat yang mutlak.
Levinas juga kemudian menyesal karena telah memuji sosialisme nasional dengan istilah filsafat. Namun, Levinas tidak membedakan antara teori dan praksis sebagaimana disinggung dalma tulisan Totality and Infinity dengan pernyataan “kaum metafisikawan tidak dapat ditotalisasikan dengan yang lain” di mana jelas bahwa apa yang padanya dihubungkan bukan sebuha kekhususan filsafat melainkan diri (self) sebagai sebuah polaritas transendensi dan ontologi tidak hanya berbicara soal “ada” melainkan sebagai sebuah jalan atau cara khusus di mana diri (self) mengalami dirinya dalam hubungannya dengan “ada”

2. 1961: Totality and Infinity
Dalam karya terbesanya ini, Levinas tidak secara spesifik menyebutkan tentang Holocaust. Tetapi pada bagian pengantarnya, ia memberikan ulasan mengenai sebuah konteks dari realitas perang. Dari kalimatnya yang pertama, “Setiap orang akan dengan mudah menyetujui bahwa hal itu adalah kepentingan yang utama untuk mengetahui apakah kita tidak ditipu oleh moralitas”. Tantangan untuk etika Levinas barangkali lebih tepat muncul dari pengalaman akan tekanan, penindasan, dan mala petaka yang sering dialaminya, di mana Levinas menekankan bahwa kebebasan diletekkan pada pertanyaan oleh “yang lain”, dan dinyatakan sebagai ada yang tidak di-adil-kan hanya ketika hal itu mengetahui dirinya untuk tidak adil.
Latar belakang tersebut tetap berpengaruh dalam berbagai pemikirannya. Adapun tiga aspek pemikiran tersebut yakni mempertanyakan iman agama setelah peristiwa Holocaust, arti atau makna dari Yudaisme, dan relasi antara being (realitas yang susah, usaha mempertahankan hidup) dan beyond being.
Levinas mengatakan bahwa ujian yang paling kuat adalah pengujian dari kenyataan. Dan kenyatan adalah realitas yang dibentuk oleh totalitas. Berkaitan dengan relasi totalitas dan totalitarianisme; gambaran Levinas tentang perang sebagai sebuah fenomena yang meninggalkan kehampaan eksterior dan yang mengubah setia yang lain kepada yang sama. Bagi Levinas, totalitas itu akan runtuh jika bertemu dengan sesuatu yang benar-benar lain, bukan termasuk totalitas egoistik itu, dan benar-benar sesuatu yang bukan aku.

3. 1966: Nameles
Esay terakhir dalam karyanya “Proper Names” berjudul “Nameless”. Essay ini berisi tentang sebuah keterharuan dan pernyataan mendalam yang dikombinasikan pengalaman pribadi dengan usaha untuk menemukan arti keadilan dalam malapetaka yang menakutkan. Dalam essay pendek tersebut, Levinas memberikan tiga kebenaran yang berasal dari pengalaman dalam kamp konsentrasi dan dilanjutkan kepada generasi yang baru.
Pertama adalah “bahwa untuk hidup secara manusiawi, orang membutuhkan sesuatu yang sangat lebih sedikit daripada apa yang mereka buang di dalam peradaban megah yang ditinggalkan. Hal itu seakan-akan selama Holocaust Kaum Yahudi kembali ke padang gurun. Kedua: dalam masa krusial, saat hal itu menunjukkan bahwa semua nilai-nilai kemanusiaan terkikis, semua martabat manusia yang diyakini hilang. Ketiga dan paling terakhir dari kebenaran adalah bahwa generasi baru harus diajarkan "kekuatan yang diperlukan untuk bertahan dalam isolasi, yaitu, ketika tidak ada lembaga yang mengatur, dan hanya satu kepastian yakni suara hati seseorang. Levinas menunjukkan bahwa perlu membuka hati kepada teks Kitab Suci dan memberikan prioritas baru kepada kehidupan batin yakni kembali ke hati nurani masing-masing.
4. 1973: Poetry and Resurrection: Notes on Agnon (puisi dan kebangkitan: catatan kepada Agnon.
Dalam essay (Proper Names) penghargaan kepada Shamuel Agnon. Levinas mengomentari dengan sebuah pertanyaan: Mengapa ada pengungsian? Mengapa harus ada pembunuhan terhadap mereka yang berpegang pada Taurat Hidup? Jawaban atas pertanyaan tersebut yakni kejahatan dalam kejahatan, dan kematian dalam kematian. Dalam menghadapi realitas pengungsian dan pembunuhan, Levinas menunjukkan untuk tidak menghilangkan hakikat seseorang dalam hal membutuhkan keadilan dan menghindari kejahatan. Berkaitan dengan hal tersebut dalam karyanya ini Levinas senang menggunakan nama-nama yang mendekatinya dan dipengaruhi oleh filsafatnya sebagai prinsip struktural dalam esaynya. Nama-nama tersebut diangkat untuk membendung hal yang terlupakan dan mengingat kematian. Satu aspek dari melestarikan keunikan setiap kehidupan individu, memprotes kematian dan merubah sejarah alienasi.

5. 1974: Otherwise than Being or Beyond Essence (Lain daripada Ada atau di seberang Esensi)
Dalam karya ini ada dua segi dari pesepsi Levinas berkaitan dengan Holocaust yakni segi universal dan partikular. Keduanya direfleksikan dalam tulisan pada bagian awal Otherwise than Being. Pertama di Jerman: untuk mengingat kembali mereka yang dekat dengan enam juta orang yang dibunuh oleh nasional-sosialisme, dan beribu-ribu penganut kepercayaan kepada yang beragama dan semua negara, korban kedengkian manusia lain, sama-sama anti-semitisme. Pengakuan tersebut di satu sisi bersifat khusus (spesifik): mereka yang berdekatan dengan peristiwa tersebut, 6 juta orang, nasional-sosialisme, anti semitisme) tetapi di satu sisi lebih bersifat umum: semua penganut kepercayaan, semua bangsa.

6. 1982: Useless Suffering (Penderitaan yang sia-sia)
Esay ini berkaitan dengan tema teodise. Dalam esay ini diungkapkan pula mengenai relasi asimetri antara aku dan yang lain, yang digunakan dalam situasi khusus dari penderitaan, dengan hasil akhir adalah bahwa hanya berarti dalam diriku, tak berguna bagi yang lain. Kesadaran kewajiban bahwa orang lain menjadi tanggung jawab saya membawa kita lebih dekat dengan Allah tetapi juga dengan secara rohani tetap percaya walaupun dalam segala bentuk teodisi.

7. 1986: The Poirie Interview (Wawancara terbuka dengan Francois Poirie)
Dalam wawancara ini ditunjukkan mengenai perbedaan pemikiran Levinas dan Martin Buber. Berkaitan dengan teks Kitab Suci 1Sam 15:3 , Buber menyatakan bahwa nabi tersebut tidak memahami apa yang diperintahkan oleh Allah kepada dirinya. Levinas menyanggah dengan keras terhadap interpretasi tersebut. Levinas menyatakan bahwa tanpa perhatian terhadap yang satu tidak mendengarkan yang lain. Selain itu, Buber tidak mengalami peristiwa Auschwitz sehingga tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Levinas juga mengkritik bahwa Buber juga tidak menghargai unitas suara hati dan yang terdapat dalam Kitab Suci.
Dalam wawancara yang sama, Levinas mengomentari tentang Holocaust yang berkaitan dengan pengalaman kehilangan seluruh anggota keluarganya dan Holocaust dinilai sebagai sesuatu yang tidak ada agama. Berkaitan dengan Holocaust ini juga mengomentari tentang relasi diri dengan orang lain, antara I dan Thou adalah relasi asimetris; yang lain lebih tinggi dari saya. Model relasi inilah yang membedakan Levinas dengan Martin Buber, di mana Martin Buber menekankan tentang relasi simetris. Martin Buber menyatakan bahwa manusia mempunyai dua hubungan yang secara fundamental berbeda satu sama lain. Yang satu adalah hubungan dengan benda-benda: Ich – Es (Aku – Itu) dan hubungan yang kedua adalah Ich – Du (Aku – Engkau).

III. Penutup

Kita ingat Levinas ikut menjadi saksi hidup holocaust, atau pembantaian umat Yahudi, serta dinamika peran Yudaisme yang jatuh bangun terguncang peristiwa tersebut. Ini pula yang mengundang minat Levinas mendalami masa-masa krusial dinamika sebuah agama yang berusaha menuntun identitas umatnya kembali. Levinas sendiri merujuk kepada ayat Alkitab Yesaya 53 tentang “Hamba Tuhan yang Menderita”. Masa-masa inilah krisis terbesar bagi Yudaisme, seperti yang diungkapkan Karen Armstrong dalam “History of God” bahwa “Tuhan orang Yahudi telah mati” di kamp Autscwithz, Dan zionisme sebagai sebuah gerakan politik kemudian merebut peran dan orientasi bangsa Yahudi setelah itu.
Tradisi Yahudi pembantaian kaum Yahudi dan semua kepahitan rasial itu cukup membuatnya mempertanyakan sebenarnya di mana Allah saat semua kekejiaan itu terjadi? Dimana Allah saat kaum Yahudi harus mati di dalam suatu camp konsentrasi hanya karena identitas diri mereka? Mengapa semuanya seakan-akan tidak adil bagi dirinya. Disini bagi Levinas, filsafat Barat mengejar totalitas yaitu menjadikan diri sebagai pusat. (Karena bertolak dari aku dan kembali bagi aku Kalau istilah dari Descartes adalah cogito ergo sum, menurut bahasa Levinas : The Philosophy of the same ). Tetapi bagi Levinas, totalitas yang benar hanya didapatkan bila diri telah berjumpa dengan wajah diri orang lain. Jadi baginya subyek menjadi subyek karena subyek bertanggung jawab akan orang lain. Perjumpaan antara sang aku dan yang lain dengan memakai instrumen bahasa yang etis akan membawa manusia kepada yang lain tapi berdimensi ilahi, yaitu Tuhan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, perlakuan kita kepada yang liyan atau sesama (neighbour), juga menyiratkan relasi yang sama kepada Tuhan kita.
Hampir seluruh karya filosofis Emmanuel Levinas, pembaca akan menemukan dedikasinya kepada memoria dari enam juta korban dari Holocaust, dan enam anggota keluarganya yang tetap tinggal di Lithuania selama perang dan dibunuh baik oleh Einsatzgruppen Nazi yang mengikuti Wehrmacht selama invasi Uni Soviet, atau dengan pro-Nazi Lithuania anti-Semit.Hal ini tidak mengherankan, karena Levinas cukup sering mengacu Holocaust dalam tulisannya. Begitu juga gagasan Levinas tentang etika terkait erat dengan gagasan memoria - atau mungkin lebih khusus, dari ketegangan antara memori dan lupa - terikat dengan bencana Holocaust.
Saya akan berpendapat bahwa Levinas menetapkan suatu teori memori pasca-Holocaust, meskipun memori tersebut bisa dilupakan tetapi tulisan-tulisannya tetap berorientasi pada masa depan, daripada terarah kepada pengalaman masa lalu yang sudah terjadi dan tidak bisa dipungkiri lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Smith, Michael B., Toward the Outside; Concepts and Themes in Emmanuel Levinas, Michigan: Duquesne University Press, 2005.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Perancis, Kanisius: Jakarta, 2001.
Lanur, Aleks, Kepercayaan dan Eksistensi: Gabriel Marcel, Karl Jasper dan Martin Buber, Diktat Kuliah Filsafat Kontemporer 2010, STF Driyarkara Jakarta.