Jumat, 28 Januari 2011

NIHILISME MENURUT FRIEDRICH W. NIETZSCHE (1844-1900)

Tentang Nihilisme
Nietzsche lahir dalam derap terjang “mitos” kemajuan yang terjadi pada zamannya. Ia lahir dalam perkembangan kebudayaan Barat yang dipengaruhi oleh agama Kristen. Ia lahir dalam masyarakat politik yang berbentuk demokrasi, masyarakat liberal, dan masyarakat demokrasi liberal. Menurut dia, kultur demokratik leberal hanyalah politisasi klaim Kristianitas mengenai persamaan hak dan kewajiban serta segala ideal Kristen lainnya. Krsitianitas dengan klaimnya tersebut telah menjadi ukuran dalam bersikap dan bertingkah laku, serta mengambil keputusan dalam hidupnya untuk menciptakan relasi yang harmoni dengan Allah dan manusia. Segala ideal Kristen telah menjadi suatu kultur yang disebut Kultur moral-Kristen. Pandangan dunia moral-Kristen itu menjadi ciri khas kultur modern atau kultur masyarakat modern. Pandangan seperti ini memunculkan nihilisme.
Nihilisme dimengerti sebagai gerakan historik di Eropa Barat pada abad XIX. Obyek pembahasan nihilisme adalah dunia supraindrawi dan hubungannya dengan hakikat manusia. Kalau Allah sebagai dasar dunia suprainderawi yang menciptakan segala sesuatu itu telah mati, manusia menjadi nihilistik. Sebab kematian Allah berarti juga manusia kehilangan orientasi nilai di dunia ini. Nihilisme demikian adalah sikap tidak percaya pada realitas empirik karena segala sesuatu tidak mempunyai arti lagi. Manusia teracama oleh bahaya nihilisme karena semua nilai kristiani akan lenyap.
Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah lazim pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilsime bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia jadikan bahan filsafat. Nietzsche dalam buku kumpulan aforismenya Der Willezur Macht, dia membuka tulisannya dengan gagasan tentang Nihilisme. Dia meramalkan terjadinya bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme. Semangat nihilistiknya juga banyak ditemukan di dalam karya-karyanya dan amat jelas terdapat dalam karyanya Die Fröhliche Wissenschaft (1882). Dengan tema ini ia mau menunjukkan bahwa apa saja yang dulu dianggap bernilai kini sudah mulai memudar dan menuju keruntuhan. Krisis ini pun akan berlangsung terus-menerus secara tak terelakkan.
Secara langsung, Nietzsche dipengaruhi oleh tulisan Paul Bourget yang berjudul “Le Nihilisme et la Morale de Nietzsche Contemporaine” (Essai tentang Psikologi Kontemporer) yang menggunakan istilah nihilisme untuk menggambarkan sebuah tipe psikologi. Dan tipe seperti itu digambarkan sebagai “une mortelle fatigue de vivre”, kelelahan mematikan dalam menjalani hidup. Nietzsche menggunakan nihilisme untuk menggambarkan karakter peradaban Eropa itu sendiri, yang pada zamannya ditandai oleh kematian Tuhan dan mulai pudarnya nilai-nilai lama, yaitu nilai-nilai platonico-kristiani.
Dengan demikian, Nietzsche berhadapan dengan sebuah istilah yang sudah ada pada zamannya, dan ia merefleksikan makna persis nihilisme bagi dirinya sendiri. Nihilisme sebagai normalitas zaman yang menimpa dirinya ia dijadikan bahan filsafat.
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: “Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya” (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!). Ucapan ini merupakan awal perjuangan Nietzsche melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang semakin pudar. Jaminan kepastian yang pertama adalah bahwa Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Jaminan kepastian lainnya, menurut Nietzshe adalah ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah, dan kemajuan (progress). Dalam merumuskan runtuhnya dua jaminan kepastian tersebut, Nietzsche merumuskan keruntuhan paradigma seluruh krisis dalam kalimat “Tuhan sudah mati”.
Pengidentifikasian diri sebagai orang gila, Nietzsche ingin menunjukkan situasi zaman yang sudah kehilangan apa yang dulu dianggap mapan, biasa dan wajar, termasuk yang pernah dialaminya sendiri. Semua makna dan nilai yang menjadi pegangan (yang mencirikan kewarasan) kini seluruhnya sudah roboh. Dengan berseru “Tuhan sudah mati”, Nietzsche pertama-tama tidak bermaksud mau membuktikan bahwa Tuhan tidak ada. Bagi Nietzsche, pembuktian mengenai eksistensi Tuhan merupakan cara bicara para metafisisi yang hanya bersandar pada prinsip-prinsip logika saja. Sedangkan Nietzsche dalam nihilismenya juga menolak keabsahan logika itu.
Nietzsche memberikan sebuah hipotesa tentang nihilisme yang sangat menarik bahwa nihilisme adalah normalitas. Nihilisme selalu ada, ia adalah keadaan normal manusia, ia bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat sebuah normalitas “tersembunyi”, yang ada secara taken for granted, hanya dibicarakan, tetapi belum diungkapkan makna yang sesungguhnya. Nietzsche membuka apa yang selama berabad-abad dianggap sebagai normal-normal belaka. Ia menunjukkan dalam “pengandaian hipotesa nihilisme” bahwa hal-hal tersebut sebetulnya ketiadaan (nihil, nothingness) belaka. Nihilisme berarti penyingkapan bahwa di balik ide indah tentang Idea, Tuhan atau apa pun ternyata hanyalah kekosongan belaka. Lebih parah lagi bahwa idea kekosongan ini ternyata sepanjang segala abad dikehendaki dengan mati-matian. Hal ini adalah ironi zaman, menurut Nietzsche, kehendak akan Kebenaran-Kebaikan-Keadilan secara mati-matian ternyata hanyalah kehendak akan kekosongan. Tersingkapkan sekarang bahwa valuasi berlebihan atas nilai tersebut memiliki sisi mematikan lainnya, yaitu devaluasi atas realitas senyatanya.
Nihilisme sebagai runtuhnya nilai-nilai merupakan keadaan yang normal dan akibat yang harus terjadi. Nihilisme adalah hasil yang tak terelakkan dari seluruh gerak sejarah sebelumnya yang diresapi gagasan-gagasan ketuhanan. Dalam gerak sejarah ini roh manusia semakin kuat. Bersamaan dengan itu Tuhan yang pernah diakui sebagai tujuan dan dasar bagi dunia dan hidup manusia, semakin pudar. Setiap usaha untuk menghidupkan-Nya kembali sia-sia. Usaha-usaha itu justru menimbulkan berbagai konflik dan situasi menyulitkan dan akhirnya mempercepat proses nihilisme. Situasi nihilistik ini pada akhirnya menjadi semangat zaman karena melampaui kekuasaan manusia perorangan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam arti sempit, matinya Tuhan menunjuk pada runtuhnya jaminan absolut yang merupakan sumber pemaknaan dunia dan hidup manusia. Nietzsche menyebut situasi ini sebagai nihilisme.
Nietzsche memberikan sebuah ramalan bahwa gerak sejarah akan mengarah kepada suatu bentuk nihilisme yang radikal. Sebenarnya nihilisme ini tidak hanya berbunyi “Tuhan sudah mati”, tetapi juga “tuhan-tuhan sudah mati”. Apabila dirumuskan dengan gagasan Nietzsche sendiri, nihilisme ini berbunyi demikian:
nihilisme radikal adalah keyakinan bahwa secara mutlak eksistensi tak dapat dipertahankan lagi, bila itu menyangkut nilai-nilai tertinggi yang diakui manusia; dan ditambah lagi dengan pemahaman bahwa kita tidak lagi mempunyai hak sedikit pun untuk menyatakan ciri di seberang (Jenseits) dan pada dirinya (an sich) dari segala sesuatu seolah-olah bersifat ilahi atau merupakan moral yang menjelma.
Nietzsche melihat bahwa banyak pemikir, sekalipun sudah membunuh Tuhan atau menolak suatu nilai suatu nilai absolut di luar dirinya, masih mencari model-model Tuhan lain yang dapat menjamin dunia dan hidupnya. Para Tuhan yang baru tersebut adalah berupa idea, kesadaran, rasio, kepastian akan kemajuan (progress), kesejahteraan umum, kabudayaan dan lain sebagainya. Menurut Nietzsche manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai. Dan ia menunjukkan bagaimana harus melakukannya tanpa bercita-cita menciptakan tuhan-tuhan yang baru.

Macam-macam Nihilisme
Pertama: Nihilisme pasif. Nihilisme pasif atau nihilisme kecapekan marupakan persetujuan yang bersifat pesimistis bahwa nilai-nilai tersebut tidak ada dan hidup ini tidak ada tujuan. Nihilisme ini merupakan sebuah penemuan bahwa “dunai ideal” yang selama ini dipuja ternyata hanya sebuah kekosongan belaka, dan tinggal tetap dalam shock tersebut. Ia tahu bahwa dirinya hanya memuja kekosongan, tetapi tidak tahu harus berbuat apa lagi di tengah penemuan shocking itu. Ia tahu bahwa dunia ternyata kosong-makna, dan kehendaknya yang cacat tidak sanggup mangutuhkan diri untuk segera mengomando sebuah keutuhan nilai. Ia hanya tinggal di dalam keterserakan kehendak, dan berpuas diri dalam aliran-menjadi kaotis realitas. Ia bergelimang dalam ketanpamaknaan dan perlahan-lahan membusukkan dirinya (dekomposisi).
Kedua: Nihilisme aktif. Nihilisme aktif atau nihilisme yang tuntas merupakan suatu sikap setuju dan bersukacita akan hilangnya nilai-nilai dan makna raibnya makna dan moralitas dialami sebagai sebuah kemenangan dan pembebasan. Dia yang menyadari kekosongan di balik “dunia ideal”, menerima kekosongan tersebut, dan dari kekosongan masih mampu mengafirmasi sesuatu, memproduksi tujuan-tujuan sementara. Ia tahu bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan itu semua adalah ilusi yang ia pakai, ia terima, sekaligus ia sadari sebagai sementara. Dalam gerak meng-iyai permukaan (ilusi) dan meng-iyai wujud-wujud baru ke-dalam-an seperti itu si nihilis akan menari-nari dan bersukacita. Ia hidup di permukaan, di bibir jurang ke-dalam-an. Dunia merupakan campur aduk antara permukaan (ilusi) dan ke-dalam-an, dan dua-duanya ia terima. Semua tindakannya tidak diabdikan untuk peneguhan nilai-nilai, sebab tindakannya itu sendirilah nilainya.

Dalam Horizon Ketidakterbatasan – Cara Mengatasi Nihilisme
Kematian Tuhan yang telah diumumkan memberikan perasaan “tidak selesai”. Manusia masih resah dan mencari horizon yang mungkin masih bisa dibayangkan. Ketakterbatasan yang terbuka belum tentu membuat manusia berani mengarunginya. Ketakterbatasan yang terbuka belum tentu membuat manusia berani mengarunginya karena laut sabagai “monster indah” justru bisa menjadi sasuatu yang tak terbatas dan menakutkan.
Nietzsche sangat serius dan sadar akan konsekuensi warta kematian Tuhan. Pengalaman tersebut dalam bahasa si orang sinting, seperti “mengosongkan lautan” atau “menghapus seluruh horizon”. Kematian Tuhan ibarat “melepaskan bumi ini dari matahari” yang membuat “kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti”, atau bahkan “menyasar-nyasar melewati kekosongan tanpa batas”. Suatu nihilisme dalam bentuknya yang paling radikal.
Keadaan di mana para tuhan sudah mati dapat dilihat dalam salah satu aforismenya yang berjudul “Dalam Horizon Ketidakterbatasan” (Im Horizont des Unendlichen).
Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita—dan lagi, kita juga sudah membakar daratan di belakang kita. Dan kini hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu. Memang benar, dia tidak senantiasa mengaum...namun, akan tiba waktunya, kau akan tahu, bahwa dia itu tidak terbatas....Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu (Land-Heimweh) yang seolah-olah menawarkan kebebasan lebih banyak—dan tidak ada daratan lagi .
Di satu sisi, kematian Tuhan tidak serta merta menuntaskan perjuangan manusia karena ia masih harus bertempur dengan bayang-bayangnya, yang adalah metafisika. Tetapi di sisi lain, perziarahan baru dalam ketakterbatasan yang baru terbuka bisa jadi merupakan jebakan ke sebuah penjara baru yang menakutkan. Lalu apa yang harus dilakukan manusia? Atau kita membiarkan keadaan itu berlangsung terus begitu sehingga kita dibayang-bayangi krisis terus-menerus?
Nietzsche menolak sikap diam dalam menghadapi nihilisme. Sikap diam bukanlah netral. Sikap diam berarti membiarkan diri didikte oleh keadaan nihilistik atau krisis terus-menerus. Sikap ini akan mengantar manusia ke dalam situasi dekaden yang tak tertahankan. Dekaden merupakan sebuah sikap tak berani berkata “Ya” pada hidup.
Jika nihilisme berarti runtuhnya nilai-nilai dan makna-makna tertinggi, tidak menolak nihilisme berarti membiarkan nilai-nilai dan makna-makna tertinggi runtuh. Dengan kata lain, Nietzsche tetap menolak setiap bentuk model Tuhan, yang melalui dirinya orang mendapat jaminan untuk memahami dirinya dan dunianya. Ia juga tidak bermaksud mencari pengganti dalam bentuk apapun. Nietzsche mengakui bahwa segala sesuatu itu khaos dan nihil. Nietzsche memandang nilai tidak lebih daripada titik berangkat dari suatu pengembaraan. Menurut Nietzsche, tidak ada kebenaran absolut.
Dengan demikain, secara singkat nihilisme dapat disimpulkan sebagai suatu kehilangan makna. Manusia tenggelam dalam situasi tertentu dan menerima saja keberadaannya. Suatu sifat nilai-nilai dan kultur tertentu yang menyediakan makna ilusoris tentang kekuasaan sebagai agensi. Menghadapi bahaya nihilisme ini, Nietzsche mengusulkan interpretasi baru. Interpretasi baru harus praktis. Karena itu, manusia harus memahami dirinya sebagai subjek masa kini dan masa depan. Untuk memperkuat pendapatnya tentang otoritas subjek, ia melemparkan dan mengklaim “ Tuhan sudah mati”. Bila Allah sudah mati, manusia dapat bebas mewujudkan kekuasaannya. Dengan meninggalkan Tuhan yang dianggap sebagai peletak dasar nilai-nilai, manusia berhadapan dengan suatu kemayaan. Kemayaan ini telah menghadang manusia. Manusia mulai mempertanyakan nilai segala sesuatu, termasuk dirinya.


Daftar Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007.
Hariyadi, Matias, “Manusia sebagai Problem”, dalam Basis, Majalah Bulanan September 1987, No. XXXVI-9.
Setyo Wibowo, A., Gaya Filsafat Netzsche, Yogyakarta: Galang Press, 2004.
---------------- ------, dkk., Para Pembunuh Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Sunardi, St., Nietzsche, Yogyakarta: LkiS, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar